Minggu, 05 Januari 2014

SWOT Analysis Perbankan Syariah di Indonesia

SWOT Analysis Perbankan Syariah di Indonesia

Bank Syariah di Indonesia telah muncul semenjak tahun 1992, dimana dimulai dari keresahan sebahagian umat Islam akan adanya riba pada bank konvensional yang mengakibatkan sebahagian masyarakat Indonesia gemar menyimpan uangnya di rumah daripada di bank. Dalam 6 tahun perkembangannya hingga tahun 1998, hanya satu bank syariah beroperasi di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia. Penyebabnya adalah pada rentang waktu tahun 1992 hingga 1998, di dalam UU No.7/1992 tentang perbankan tidak dikenal adanya sistem perbankan syariah, yang diakui hanya bank dengan prinsip bagi hasil. Hal ini mengakibatkan perkembangan perbankan syariah di Indonesia sedikit tersendat.


.KEKUATAN YANG DIMILIKI
Perbankan syariah memiliki karakteristik yang menjadi keunggulan perbankan syariah dibandingkan dengan perbankan konvensional. Keunggulan-keunggulan tersebut menjadi kekuatan yang mampu menggerakkan perbankan syariah di Indonesia untuk berkembang ke arah lebih baik dalam rangka memperluas market share perbankan syariah.
1. Sesuai dengan prinsip syariah, baik dari akad, produk, penyaluran.
Apabila selama ini banyak masyarakat terutama segmen masyarakat yang religius enggan untuk menyimpan dananya di bank karena adanya riba berupa bunga. Maka dengan kehadiran bank syariah maka segmen masyarakat tersebut akhirnya memiliki solusi untuk menyimpan dana yang mereka miliki tidak lagi di bawah bantal, karena kondisi kedaruratan yang selama ini menjadi dasar masyarakat muslim untuk menabung di bank konvensional telah hilang seiring dengan telah hadirnya bank syariah di Indonesia. Sehingga apabila masih ada orang yang berargumentasi menabung di bank konvensional boleh secara agama karena situasi darurat, maka itu adalah argumentasi yang keliru. Akad-akad muamalah yang menjadi landasan dalam setiap transaksi di perbankan syariah menunjukkan bahwa setiap transaksi itu selalu dengan prinsip syariah.


2. Sistem yang lebih adil dan menenteramkan bagi umat
Sistem perbankan syariah lebih adil baik dari aspek nasabah penabung maupun nasabah peminjam. Nasabah penabung saat ini tidak perlu lagi takut dananya hilang seperti pada saat krisis 1997 dimana banyak bank yang terpaksa dilikuidasi, karena bank syariah dalam setiap aktivitasnya selalu didasarkan pada sektor riil. Dan bagi hasil pun dapat lebih besar daripada bunga yang diberikan oleh bank konvensional, apabila bagi hasil yang diberikan oleh nasabah peminjam besar maka bagi hasil yang diberikan kepada nasabah penabung pun akan besar pula. Sehingga sistem ini akan terbukti lebih adil dan menenteramkan bagi nasabah penabung.


3. Telah terbukti tahan krisis
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada semenjak pertengahan tahun 1997 berawal dari gejolak moneter di negara tetangga, sehingga nilai tukar rupiah mengalami depresiasi besar. Kebijakan uang ketat sebagai upaya untuk menahan tekanan depresiasi rupiah direspons oleh pasar dengan berkurangnya kepercayaan investor terhadap rupiah. Akhirnya pada tanggal 14 Agustus 1997 Bank Indonesia melepaskan bank intervensi yang menandakan kebebasan kurs dolar bergerak sepenuhnya menurut mekanisme pasar[2].
Intervensi Bank Indonesia dalam bentuk menaikkan tingkat suku bunga SBI sebagai upaya dalam menahan tekanan terhadap pelemahan nilai tukar mengakibatkan kenaikan tingkat suku bunga perbankan yang menyebabkan ekonomi kekurangan likuiditas yang mengakibatkan kegiatan dunia usaha menjadi stagnan. Gejolak yang terjadi ini merupakan konsekuensi logis dari lepasnya keterkaitan sektor moneter dengan sektor riil. Uang tidak lagi hanya sekedar berfungsi sebagai alat tukar melainkan telah menjadi barang komoditas sebagai akibat adanya motif spekulasi dari para pemegang uang.
Ketidakterkaitan antara sektor moneter dan riil ini mengakibatkan persoalan serius. Beban bunga yang tinggi tidak akan mungkin mampu ditanggung oleh para pengusaha. Namun karena pengusaha memerlukan likuiditas kredit bunga tinggi terpaksa diambil. Tahap berikutnya bank tersebut mengalami kredit macet, karena para pengusaha tidak mampu membayar beban yang harus ditanggungnya. Selanjutnya, bank-bank yang mengalami kredit macet yang besar itu terancam eksistensinya, karena di satu pihak bank harus membayar bunga deposito yang tinggi, sedangkan di sisi lain pendapatannya menurun drastic karena kredit macet. Oleh karenanya, negative spread yang diderita bank-bank itu sangat besar yaitu sekitar 20%, sehingga modal dari sebagian besar bank telah habis dimakan non performing loan dan negative spread.[3]
Suatu bank syariah tidak akan menaruh dananya kepada transaksi yang bersifat derivatif tanpa ada sandaran sektor riil dibelakangnya, hal ini dilakukan dalam rangka mencegah terjadinya bubble economic dalam sistem perbankan syariah.


4. Mempunyai payung hukum perundang-undangan
Dengan lahirnya Undang-undang no. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah, perbankan syariah memiliki peraturan perundang-undangan sebagai payung hukum dalam operasional perbankan syariah di Indonesia. Selama ini kendala dalam perkembangan perbankan syariah adalah ketiadaan payung hukum tersendiri yang khusus mengatur tentang perbankan syariah. Apabila kita melakukan kilas balik sejarah dari awal berdirinya bank syariah di Indonesia pada tahun 1992, pada waktu itu istilah bank syariah belum diakui dalam sistem perbankan di Indonesia. Hanya saja waktu itu bank syariah diakomodir dengan diakuinya bank dengan prinsip bagi hasil dalam Undang-undang No. 7 tahun 1992, yang mengakibatkan perkembangan perbankan syariah pada rentang waktu tersebut sangat lambat.


B. KENDALA YANG DIHADAPI
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia selain memiliki kekuatan namun ada pula beberapa kendala yang dihadapi oleh perbankan syariah di Indonesia:


1. Permasalahan keterjangkauan jaringan yang masih rendah dan belum merata di seluruh propinsi di Indonesia.
Hal ini merupakan salah satu hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Bank Indonesia untuk melihat preferensi masyarakat terhadap bank syariah. Hasil penelitian dan permodelan potensi serta preferensi masyarakat terhadap bank syariah yang dilakukan Bank Indonesia menunjukkan tingginya minat masyarakat terhadap perbankan syariah. Namun, sebagian besar responden mengeluhkan kualitas pelayanan, termasuk keterjangkauan jaringan yang rendah. Kelemahan inilah yang salah satunya caranya diatasi dengan office channeling, yaitu bank konvensional yang memiliki unit usaha syariah dapat membuka konter layanan syariah di cabang konvensionalnya. Apabila sebelumnya bank yang memiliki unit usaha syariah hanya dapat melayani nasabah yang ingin membuka rekening di unit usaha syariah harus datang ke cabang syariah. Maka dengan adanya office channeling ini mereka tidak perlu datang ke cabang syariah, tapi bisa dilayani di cabang konvensionalnya yang membuka konter layanan syariah.
Bank Syariah Mandiri sebagai anak perusahaan dari Bank Mandiri memanfaatkan jaringan ATM yang dimiliki oleh Bank Mandiri di seluruh Indonesia untuk dapat dimanfaatkan oleh para nasabah Bank Syariah Mandiri untuk melakukan transaksi penarikan tunainya tanpa dikenakan biaya. Pemanfaatan jaringan ATM Bank Mandiri oleh Bank Syariah Mandiri adalah sebagai salah satu upaya dalam memperluas pelayanan jaringan kepada masyarakat.


2. Nasabah yang tidak loyal kepada bank syariah
Dalam perkembangan nasabah yang menggunakan jasa perbankan syariah terbagi atas dua segmen nasabah, yaitu yang pertama adalah nasabah yang loyal terhadap perbankan syariah, dimana ia menggunakan jasa perbankan syariah karena semangatnya untuk menegakkan syariat. Sehingga ia tidak akan mempersoalkan berapa besaran persentase bagi hasil yang diberikan oleh bank syariah jika dibandingkan dengan besaran tingkat suku bunga yang ditawarkan oleh bank konvensional. Jenis nasabah ini sering dikatakan sebagai nasabah emosional, yaitu menggunakan jasa perbankan syariah berdasarkan penerapan aturan syariat yang dilaksanakan.


3. Kurangnya pemasaran dan promosi
Promosi yang dilakukan oleh dunia perbankan syariah masing sangat kurang, sehingga masih banyak masyarakat yang tidak mengerti bagaimana mengakses layanan perbankan syariah. Aspek pendanaan memang menjadi kendala utama dalam melakukan promosi di bank syariah, minimnya anggaran promosi yang dimiliki menyebabkan kurang gencarnya promosi yang dilakukan oleh bank syariah. Sementara anggaran promosi di bank konvensional relatif lebih besar dibandingkan dengan di bank syariah, akhirnya menyebabkan gaung perbankan syariah masih kalah dibandingkan dengan perbankan konvensional.


4. Kurangnya sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat
Bank Syariah kini tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Perkembangan perbankan Syariah yang pesat serta pelajaran yang diberikan oleh krisis keuangan yang terjadi 1997, telah memunculkan harapan pada sebahagian masyarakat bahwa pengembangan ekonomi Syariah merupakan suatu solusi bagi peningkatan ketahanan ekonomi nasional, juga sebagai pelaksanaan kewajiban Syariat Islam. Namun sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat dirasakan masih kurang, sehingga banyak masyarakat yang berasumsi bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara bank syariah dengan bank konvensional hanya sekedar menambahkan label syariah di belakang nama banknya serta merubah istilah bunga menjadi bagi hasil.


5. Kurangnya sumber daya manusia yang memahami syariah
Bank Syariah seolah-olah disibukan oleh jargon “how to Islamize our banking system” dan lupa akan wacana ” how to Islamize the people involved in the banking industry”. Banyak masalah Bank Syariah disebabkan pemahaman dan kesadaran para praktisi Bank Syariah akan prinsip-prinsip ekonomi Islam (Bank Syariah) belum sepenuhnya dimengerti. Bank syariah saat ini masih kekurangan sumber daya manusia yang menguasai aspek fiqh tentang perbankan syariah dan pengetahuan manajemen perbankan praktis.


6. Membatasi instrumen dan produk bank pada bentuk tertentu
Bank syariah seringkali membatasi instrument dan produknya hanya pada beberapa produk tertentu, sehingga Bank-Bank Syariah kesulitan dalam mengembangkannya, bahkan terjebak dalam siklus investasi yang sempit. Hal ini menunjukan tidak adanya keberanian dan kemauan yang sungguh-sungguh dari para pelaku Bank Syariah. Dengan memberikan pilihan bentuk investasi kepada para klien adalah jaminan akan kematangan konsep Bank Syariah, dimana setiap klien akan memilih instrumen-instrumen tadi sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan peluangnya. Berbeda apabila Bank Syariah saat ini hanya menyediakan instrumen investasi dalam bentuk-bentuk tertentu, dimana seorang klien dengan terpaksa hanya mengandalkan instrumen yang tersedia, hal itu bisa berakibat fatal apabila kemampuan klien dan peluangnya tidak bisa dikembangkan pada instrumen yang tersedia pada Bank Syariah
C. PELUANG YANG DAPAT DIRAIH
Peluang yang dapat diraih oleh perbankan syariah terutama pasca disahkannya UU no. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah
1. Perluasan market share perbankan syariah
Dengan Undang-undang perbankan syariah yang terbaru maka peluang untuk memperluas market share perbankan syariah sangat terbuka karena beberapa alasan berikut: pertama, Bank Umum Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah tidak dapat dikonversi (diubah) menjadi Bank Konvensional, sementara Bank Konvensional dapat dikonversi menjadi Bank Syariah (Pasal 5 ayat 7); kedua; Apabila terjadi penggabungan (merger) atau peleburan (akuisisi) yang terjadi antara Bank Syariah dengan Bank Non Syariah, maka bentuk badan hukumnya wajib berubah menjadi Bank Syariah (Pasal 17 ayat 2); ketiga, Bank Umum Konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) harus melakukan pemisahan (spin off) apabila (Pasal 68 ayat 1): Unit Usaha Syariah telah mencapai asset paling sedikit 50% dari total nilai asset bank induknya; atau 15 tahun sejak berlakunya UU Perbankan Syariah. Ketiga hal tersebut beberapa hal yang membuka peluang dalam perluasan market share perbankan syariah.


2. Akivitas usaha bank syariah yang lebih banyak dan beragam dibandingkan bank konvensional.
Terdapat usaha-usaha yang bisa dilakukan oleh sebuah bank umum syariah dan tidak dapat dilakukan oleh bank konvensional. Dengan demikian, perbankan syariah dapat menawarkan jasa-jasa lebih dari yang ditawarkan oleh sebuah investment banking, karena jasa-jasa bank syariah merupakan suatu kombinasi yang dapat diberikan oleh commercial bank, finance company, dan merchant bank. Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh sebuah Bank Umum Syariah (BUS) lebih luas dibandingkan dengan Unit Usaha Syariah (UUS) dari sebuah bank konvensional. Tidak semua usaha yang dapat dilakukan oleh BUS dapat dilakukan oleh UUS. Kegiatan yang hanya dapat dilakukan oleh Bank Umum Syariah adalah: Pertama, menjamin penerbitan surat berharga; Kedua, penitipan untuk kepentingan orang lain; Ketiga, menjadi wali amanat; Keempat, penyertaan modal; Kelima, bertindak sebagai pendiri dan pengurus dana pensiun; Keenam, menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka panjang syariah.


3. Sumber daya manusia yang memiliki kualifikasi
Adapun peluang Perbankan Syariah di Indonesia yaitu dibutuhkam banyak sumber daya manusia yang memiliki kualifikasi dan keahlian di bidang ekonomi Syariah, yang tidak saja menguasai ilmu manajemen perbankan tetapi mengerti pula aspek fiqhnya. Tentu ini merupakan peluang yang sangat prospektif sekaligus sebagai tantangan bagi lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Sudah saatnya kajian ekonomi Islam mendapat ruang dan tempat yang lebih luas lagi di perguruan tinggi. Kurikulum ekonomi Islam pun perlu untuk terus menerus disempurnakan, dimana dibutuhkan perpaduan antara pendekatan normatif keagamaan dengan pendekatan kuantitatif empiris. Riset-riset tentang ekonomi Syariah, baik pada skala mikro maupun makro harus terus diperbanyak. Ini akan memperkaya khazanah literatur ekonomi Syariah sekaligus mempercepat perkembangan ekonomi Syariah secara utuh dan menyeluruh.


4. Penduduk Indonesia yang mayoritasnya adalah muslim.
Kuantitas penduduk ini bisa dijadikan sebagai lahan yang prospektif untuk dijadikan sebagai objek pengembangan Bank Syariah dan sekaligus pangsa pasar. Kapasitas peduduk muslim bukan saja menjadi objek pasar tapi juga sebagai objek Islamisasi ekonomi (Bank Syariah) sehingga dengan semakin banyak masyarakat yang mempunyai kesadaran tentang ekonomi Islam semakin banyak pula penduduk yang menjadi nasabah Bank Syariah


D. Tantangan Yang Harus Dihadapi
1. Peningkatkan purifikasi praktik perbankan syariah yang konsisten dalam menerapkan prinsip dan kegiatan sesuai syariah
Penyimpangan dari konsepsi bank syariah akan menghilangkan jati diri dan keunikan bank syariah, yang pada gilirannya akan menghilangkan eksistensi bank syariah. Saat ini masih ada kecenderungan kekecewaan pengguna jasa perbankan syariah karena masih ada praktik-praktik yang dinilai tidak sejalan dengan prinsip syariah, sehingga berakibat loyalitas dan kontinuitas penggunaan jasa bank tersebut tidak dapat dipertahankan lama. Penyimpangan prinsip syariah dapat terjadi dalam berbagai derajat, misalnya hanya yang sekedar melakukan benchmarking tingkat bagi hasil atau marjin jual beli dengan tingkat bunga bank konvensional yang berlaku hingga penempatan dana menganggur pada bank-bank konvensional dengan motif memperoleh pendapatan bunga.
Dampak dari sosialisasi dan meningkatnya pengetahuan masyarakat pengguna jasa perbankan syariah membuat masyarakat lebih kritis dan menuntut agar bank-bank syariah dapat melakukan purifikasi kegiatan usahanya sehingga terhindar dari keragu-raguan adanya pelanggaran prinsip syariah dalam kegiatannya.
Sebenarnya mekanisme pengawasan prinsip syariah pada lembaga keuangan syariah baik lembaga keuangan bank maupun lembaga keuangan non bank telah diciptakan melalui kewajiban pembentukan Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada setiap bank syariah, adanya kewajiban bahwa setiap produk dan jasa baru bank syariah untuk memperoleh fatwa kehalalannya terlebih dahulu pada Dewan Syariah Nasional MUI, serta fungsi pengawasan oleh Bank Indonesia.


2. Pembebasan pemilikan bank umum syariah oleh badan hukum Indonesia dengan warganegara asing dan/atau badan hukum asing
Tantang utama dari Undang-undang ini adalah pembebasan pemilikan bank umum syariah oleh badan hukum Indonesia dengan warganegara asing dan/atau badan hukum asing secara kemitraan secara langsung (Pasal 9) maupun melalui bursa efek merupakan tantangan yang sangat besar ke depan bagi warganegara dan badan hukum Indonesia dalam kepemilikan bank syariah ke depan. Demikian pula pembebasan penggunaan tenaga kerja asing (Pasal 33 ayat 1) dapat merupakan tantangan besar bagi warganegara Indonesia sebagai pengelola dan atau pekerja di perbankan Syariah.


3. Produk perbankan syariah yang harus berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI)
Tantangan lainnya adalah prinsip syariah yang menjadi dasar produk/jasa perbankan syariah dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia oleh Komite Perbankan Syariah berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) (Pasal 26). Hal ini dapat membatasi produk/jasa yang dapat dilakukan perbankan syariah di Indonesia. Suatu produk/jasa perbankan syariah yang dapat dilakukan perbankan syariah di dunia internasional bisa saja tidak dapat dilakukan di Indonesia. Implikasi dari hal ini adalah kurangnya inovasi produk dari industri perbankan syariah terutama dalam menyikapi kebutuhan pasar. Sebab banyak inovasi produk yang dilakukan oleh bank syariah ditolak oleh Dewan Syariah Nasional MUI, hal ini pada akhirnya banyak bank syariah yang bermain aman dengan produk yang ada tanpa berusaha melakukan inovasi produk yang berarti.


4. Kepastian perpajakan untuk transaksi berbasis syariah
Pajak berganda tersebut jelas merugikan pelaku maupun industri. Karena pajak berganda inilah yang mengakibatkan produk murabahah bank syariah menjadi lebih mahal dari bank konvensional. Jika pajak berganda bisa segera dihapuskan, maka produk perbankan syariah bisa berkembang tidak hanya berupa simpanan atau wadiah, tetapi juga produk yang lain. Maka, peranan pemerintah untuk mengupayakan jalan keluar bagi permasalahan tersebut sangat dinantikan.


5. Sumber daya manusia yang kurang
Sumber daya manusia perbankan syariah saat ini masih kurang baik secara kualitas maupun kuantitas. Namun perguruan tinggi yang mengajarkan mengenai ekonomi syariah belum mampu menyediakan seluruh sumber daya manusia yang dibutuhkan. Sehingga akhirnya harus dipasok oleh perguruan tinggi umum. Selain itu seringkali terjadi dikotomi antara perguruan tinggi agama dan perguruan tinggi umum. Apabila perguruan tinggi agama dalam pengajarannya lebih menekankan mengenai aspek fiqh semata dan kurang materi praktisnya.
Sementara perguruan tinggi umum terlalu banyak aspek praktisnya dan kurang materi fiqh. Hal ini harus dipecahkan secara bersama bagaimana menyusun suatu kurikulum yang mampu memadukan antara kurikulum umum, fiqh dan praktik. Gerakan dari Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) yang menyusun kurikulum ekonomi syariah harus didukung bersama sebagai upaya menjembatani keterbatasan sumber daya manusia yang dimiliki oleh perbankan syariah.


6. Permodalan yang belum kuat
Kekuatan permodalan perbankan syariah masih belum kuat, sehingga belum mampu mendukung dalam ekspansi pasar. Hal ini salah satunya disebabkan umur perbankan syariah yang masih muda dibandingkan dengan perbankan konvensional. Pemerintah harus membantu industri perbankan syariah agar mampu tumbuh setara dengan pertumbuhan perbankan konvensional. Pembukaan modal asing untuk masuk dalam industri perbankan syariah merupakan salah satu cara untuk mengatasi permodalan bank syariah yang belum kuat. Dengan permodalan yang kuat diharapkan ke depannya industri perbankan syariah mampu setara dengan perbankan konvensional dalam sistem perbankan di Indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar