KATA PENGANTAR
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka
berkata, sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang
telah sampai kepadanya larangan dari Tuhan-nya, lalu terus berhenti
(dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang
yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal didalamnya. (QS. Al-Baqarah :
275)
Assalamualaikum Wr Wb,
Para pembaca yang diberikan rahmat oleh Allah SWT,
Setiap muslim dan muslimah yang selalu meminta petunjuk jalan yang
lurus kepada Allah SWT pada waktu sholat lima waktu akan mudah membaca
buku saku perbankan syariah yang disajikan oleh ”Pusat Komunikasi
Ekonomi Syariah” (PKES).
Buku saku ini mencoba menjelaskan Islam dan Bank Syariah mulai dari
status hukum sampai perhitungannya. Diharapkan dengan membaca buku ini,
para pembaca dapat merenungkan isinya dari segala aspek sehingga para
pembaca dapat dengan yakin memanfaatkan jasa dan produk yang ditawarkan
oleh Bank-bank Syariah yang ada di Indonesia.
Sejak dikeluarkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia akhir Desember 2003
yang menyatakan bahwa bunga bank haram hukumnya maka semua praktek
bisnis yang menggunakan instrumen bunga menjadi haram. Pada kenyataannya
fatwa tersebut ditanggapi dingin-dingin saja oleh ummat Islam, dengan
kata lain respon positif dari ummat Islam terhadap fatwa tersebut tidak
menggema seperti Fatwa-Fatwa MUI lainnya. MENGAPA ??? Buku ini mencoba
untuk sejalan dengan Fatwa MUI tentang keharaman bunga bank.
Akhirnya, PKES berharap bahwa para pembaca yang senantiasa ingin
mendapatkan ridho dari Allah SWT, tentunya dengan senang hati untuk
membaca buku saku ini, yang akibatnya secara minimal sebagai suatu
pengetahuan yang berguna bagi kehidupan dunia dan akhirat. Sedangkan
secara maximal, pembaca tergerak hatinya untuk memanfaatkan Bank-bank
syariah yang ada dimana pembaca bertempat tinggal.
Sekali lagi, carilah keberkahan dan rahmat Allah swt dengan
bermuamalah, berniaga, atau berbisnis secara SYARIAH, Insya Allah pintu
rezeki akan selalu terbuka.
Wassalaam
Jakarta, November 2005
Direktur Eksekutif PKES
Ir. H. Muhamad Nadratuzzaman Hosen, MS, MEc, Ph.D
BAB I. KEPUTUSAN FATWA MUI TENTANG HUKUM BUNGA (INTEREST/FA’IDAH)
KEPUTUSAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor :1 Tahun 2004
Tentang : BUNGA (INTEREST/FA’IDAH)
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Majelis Ulama Indonesia,
MENIMBANG :
a. bahwa umat Islam Indonesia masih mempertanyakan status hukum bunga (
interst/fa’idah) yang dikenakan dalam transaksi pinjaman (
al-qardh) atau utang piutang (
al-dayn), baik yang dilakukan oleh lembaga keuangan, individu maupun lainnya;
b. bahwa Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia pada tanggal 22
Syawwal 1424 H./16 Desember 2003 telah menfatwakan tentang status hukum
bunga;
c. bahwa oleh karena itu, Majelis Ulama Indonesia memandang perlu
menetapkan fatwa tentang bunga dimaksud untuk dijadikan pedoman.
MENGINGAT :
1. Firman Allah SWT, antara lain:
1) الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ
الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ، ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ
قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا، وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ
وَحَرَّمَ الرِّبَا، فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى
فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ، وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ
أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ، يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا
وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ، وَاللَّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ،
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا
الصَّلاَةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ
وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ، يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ
كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ
اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ
تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ، وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ
إِلَى مَيْسَرَةٍ، وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ
تَعْلَمُونَ. (البقرة: 275-280)
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa
yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai
setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh,
mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di
sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu
orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan
sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka
bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh
sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang)
itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
2) يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا
مُضَاعَفَةً، وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (آل عمران: 130)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan (Ali ‘Imran [3]: 130).
2. Hadis-hadis Nabi s.a.w., antara lain:
1) عَنْ عَبْدِ اللَّه،ِ قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ، قَالَ قُلْتُ وَكَاتِبَهُ
وَشَاهِدَيْهِ قَالَ إِنَّمَا نُحَدِّثُ بِمَا سَمِعْنَا (رواه مسلم في
صحيحه، كتاب المساقاة، باب لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ، رقم: 2994)
Dari Abdullah r.a., ia berkata: “Rasulullah s.a.w. melaknat orang
yang memakan (mengambil) dan memberikan riba.” Rawi berkata: saya
bertanya: “(apakah Rasulullah melaknat juga) orang yang menuliskan dan
dua oarang yang menjadi saksinya?” Ia (Abdullah) menjawab: “kami hanya
menceritakan apa yang kami dengar.” (HR. Muslim).
2) عَنْ جَابِرٍ قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ
هُمْ سَوَاءٌ (رواه مسلم، في صحيحه، كتاب المساقاة، باب لَعَنَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ،
رقم: 2995)
Dari Jabir r.a., ia berkata: “Rasulullah s.a.w. melaknat orang
yang memakan (mengambil) riba, memberikan, menuliskan, dan dua orang
yang menyaksikannya.” Ia berkata: “Mereka berstatus hukum sama.” (HR. Muslim).
3) عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يَأْكُلُونَ الرِّبَا
فَمَنْ لَمْ يَأْكُلْهُ أَصَابَهُ مِنْ غُبَارِهِ (رواه النسائي في سننه،
كتاب البيع، باب اجتناب الشبهات في الكسب، رقم: 4379)
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Akan
datang kepada umat manusia suatu masa di mana mereka (terbiasa) memakan
riba. Barang siapa tidak memakan (mengambil)-nya, ia akan terkena
debunya.” (HR. al-Nasa’i).
4) عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرِّبَا سَبْعُونَ حُوبًا أَيْسَرُهَا أَنْ يَنْكِحَ
الرَّجُلُ أُمَّهُ (رواه ابن ماجه في سننه، كتاب التجارات، باب التغليظ في
الربا، رقم: 2265)
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Riba
adalah tujuh puluh dosa; dosanya yang paling ringan adalah (sama dengan)
dosa orang yang berzina dengan ibunya.” (HR. Ibn Majah).
5) عَنْ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ الرِّبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُونَ بَابًا (رواه ابن ماجه في
سننه، كتاب التجارات، باب التغليظ في الربا، رقم: 2266)
Dari Abudullah, dari Nabi s.a.w., beliau bersabda: “Riba mempunyai tujuh puluh tiga pintu (cara, macam).” (HR. Ibn Majah).
6) عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ
وَشَاهِدِيهِ وَكَاتِبَهُ (رواه ابن ماجه في سننه، كتاب التجارات، باب
التغليظ في الربا، رقم: 2268)
Dari Abdullah bin Mas’ud: “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang
memakan (mengambil) riba, memberikan, dua orang yang menyaksikan, dan
orang yang menuliskannya.” (HR. Ibn Majah).
7) عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يَبْقَى
مِنْهُمْ أَحَدٌ إِلاَ آكِلُ الرِّبَا فَمَنْ لَمْ يَأْكُلْ أَصَابَهُ مِنْ
غُبَارِهِ (رواه ابن ماجه في سننه، كتاب التجارات، باب التغليظ في الربا،
رقم: 2269)
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Sungguh
akan datang kepada umat manusia suatu masa di mana tak ada seorang pun
di antara mereka kecuali (terbiasa) memakan riba. Barang siapa tidak
memakan (mengambil)-nya, ia akan terkena debunya.” (HR. Ibn Majah).
3. Ijma’ ulama tentang keharaman riba dan bahwa riba adalah salah satu dosa besar (kaba’ir) (lihat antara lain: al-Nawawi,
al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, [t.t.: Dar al-Fikr, t.th.], juz 9, h. 391).
MEMPERHATIKAN :
1. Pendapat para ulama ahli fiqh bahwa bunga yang dikenakan dalam transaksi pinjaman (utang-piutang,
al-qardh; al-qardh wa al-iqtiradh) telah memenuhi kriteria riba yang diharamkan Allah SWT., seperti dikemukakan, antara lain, oleh :
a. Imam Nawawi dalam
Al-Majmu’:
قَالَ النَّوَوِيُّ: قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ اخْتَلَفَ أصْحَابُنَا
فِيْمَا جَاءَ بَهِ الْقُرْآنُ مِنْ تَحْرِيْمِ الرِّبَا عَلَى وَجْهَيْنِ.
أَحَدُهُمَا أَنَّهُ مُجْمَلٌ فَسَّرَتْهُ السُّنَّةُ، وَكُلُّ مَا
جَاءَتْ بِهِ السُّنَّةُ مِنْ أَحْكَامِ الرِّبَا فَهُوَ بَيَانٌ
لِمُجْمَلِ الْقُرِآنِ، نَقْدًا كَانَ أَوْ نَسِيْئَةً، وَالثَّانِيْ أَنَّ
التَّحْرِيْمَ الَّذِيْ فِى الْقُرآنِ إِنَّمَا تَنَاوَلَ مَا كَانَ
مَعْهُوْدًا لِلْجَاهِلِيَّةِ مِنْ رِبَا النَّسَاءِ وَطَلَبِ الزِّيَادَةِ
فِى الْمَالِ بِزِيَادَةِ اْلأَجَلِ، وَكَانَ أَحَدُهُمْ إِذَا حَلَّ
أَجَلُ دَيْنِهِ وَلَمْ يُوَفِّهِ الْغَرِيْمُ أَضْعَفَ لَهُ الْمَالَ
وَأَضْعَفَ اْلأَجَلَ، ثُمَّ يَفْعَلُ كَذلِكَ عِنْدَ اْلأجَلِ اْلآخَرِ،
وَهُوَ مَعْنَى قَوْلِهِ تَعَالَى: لاَ تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا
مُضَاعَفَةً؛ قَالَ: ثُمَّ وَرَدَتِ السُّنَّةُ بِزِيَادَةِ الرِّبَا فِى
النَّقْدِ مُضَافًا إِلَى مَا جَاءَ بِهِ الْقُرْآنُ (المجموع، دار الفكر،
ج9، ص 391)
Al-Nawawi berkata, al-Mawardi berkata: Sahabat-sahabat kami (ulama
mazhab Syafi’i) berbeda pendapat tentang pengharaman riba yang
ditegaskan oleh al-Qur’an, atas dua pandangan.
Pertama, pengharaman tersebut bersifat mujmal (
global) yang dijelaskan oleh sunnah. Setiap hukum tentang riba yang dikemukakan oleh sunnah adalah merupakan penjelasan (
bayan) terhadap kemujmalan al-Qur’an, baik
riba naqd maupun
riba nasi’ah.
Kedua, bahwa pengharaman riba dalam al-Qur’an sesung-guhnya hanya mencakup
riba nasa’
yang dikenal oleh masyarakat Jahiliah dan permintaan tambahan atas
harta (piutang) disebabkan penambahan masa (pelunasan). Salah seorang di
antara mereka apabila jatuh tempo pembayaran piutangnya dan pihak
berhutang tidak membayarnya, ia menambahkan piutangnya dan menambahkan
pula masa pembayarannya. Hal seperti itu dilakukan lagi pada saat jatuh
tempo berikutnya. Itulah maksud firman Allah:
“… janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda…”. Kemudian sunnah menambahkan riba dalam pertukaran mata uang (naqd) terhadap bentuk riba yang terdapat dalam al-Qur’an.
b. Ibn al-‘Araby dalam
Ahkam al-Qur’an :
وَالرِّبَا فِى اللُّغَةِ هُوَ الزِّياَدَةُ، وَالْمُرَادُ بِهِ فِى
الْقُرْآنِ كُلُّ زِيَادَةٍ لَمْ يُقَابِلْهَا عِوضٌ (أحكام القرآن)
c. Al-‘Aini dalam
‘Umdah al- Qary :
اَلأصْلُ فِيْهِ (الرِّبَا) الزِّياَدَةُ. وَهُوَ فِى الشَّرْعِ
الزِّياَدَةُ عَلَى أَصْلِ مَالٍ مِنْ غَيْرِ عَقْدِ تَبَايُعٍ (عمدة
القارى على شرح البخاري)
d. Al-Sarakhsyi dalam
Al-Mabsuth :
الرِّبَا هُوَ الْفَضْلُ الْخَالِيْ عَلَى الْعِوَضِ الْمَشْرُوْطِ فِى الْبَيْعِ (المبسوط ج13 ص109)
e. Ar-Raghib al-Isfahani dalam
Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an :
هُوُ (الرِّبَا) الزِّياَدَةُ عَلَى رَأْسِ الْمَالِ (المفردات فى غريب القرآن)
f. Muhammad Ali al-Shabuni dalam
Rawa-i’ al-Bayan :
اَلرِّبَا هُوَ زِيَادَةٌ يَأْخُذُهُ الْمُقْرِضُ مِنَ الْمُسْتَقْرِضِ مُقَابِلَ اْلأَجَلِ (روائع البيان في تفسير آيات القرآن)
g. Muhammad Abu Zahrah dalam
Buhuts fi al-Riba :
وَرِبَا الْقُرْآنِ هُوَ الرِّبَا الَّذِيْ تَسِيْرُ عَلَيْهِ
الْمَصَارِفُ، وَيَتَعَامَلُ بِهِ النَّاسُ، فَهُوَ حَرَامٌ بِلاَ شَكٍّ.
(بحوث في الربا: 37)
h. Yusuf al-Qardhawy dalam
Fawa’id al-Bunuk :
فَوَائِدُ الْبُنُوْكِ هِيَ الرِّبَا الْحَرَامُ (فوائد البنوك)
i. Wahbah al-Zuhaily dalam
Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh :
فَوَائِدُ الْمَصَارِفِ (الْبُنُوْكِ) حَرَامٌ حَرَامٌ حَرَامٌ، وَرِبَا
الْمَصَارِفِ أَوْ فَوَائِدُ الْبُنُوْكِ هِيَ رِبَا النَّسِيْئَةِ،
سَوَاءٌ كَانَتِ الْفَائِدَةُ بَسِيْطَةً أَمْ مُرَكَّبَةً، لأنَّ عَمَلَ
الْبُنُوْكِ اْلأصْلِيَّ اْلإِقْرَاضُ وَاْلاِقْتِرَاضُ … وَإِنَّ مَضَارَّ
الرِّبَا فِيْ فَوَائِدِ الْبُنُوْكِ مُتَحَقِّقَةٌ تَمَامًا. وَهِيَ
حَرَامٌ حَرَامٌ حَرَامٌ كَالرِّبَا، وَإِثْمُهَا كَإِثْمِهِ، وَلِقَوْلِهِ
تَعَالَى: وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوْسُ أَمْوَالِكُمْ…
2. Bunga uang atas pinjaman (
qardh) yang berlaku di atas
lebih buruk dari riba yang diharamkan Allah SWT dalam Al-Quran, karena
dalam riba tambahan hanya dikenakan pada saat si peminjam (berhutang)
tidak mampu mengembalikan pinjaman pada saat jatuh tempo. Sedangkan
dalam sistem bunga tambahan sudah langsung dikenakan sejak terjadi
transaksi.
3. Ketetapan akan keharaman bunga bank oleh berbagai Forum Ulama Internasional, antara lain:
a.
Majma’ul Buhuts al-Islamiyyah di al-Azhar Mesir pada Mei 1965.
b.
Majma’ al-Fiqh al-Islamy Negara-negara OKI yang diseenggarakan di Jeddah tgl 10-16 Rabi’ul Awal 1406 H/22-28 Desember 1985.
c.
Majma’ Fiqh Rabithah al-‘Alam al-Islamy, Keputusan 6 Sidang IX yang diselenggarakan di Makkah tanggal 12 – 19 Rajab 1406 H.
d. Keputusan Dar al-Itfa, Kerajaan Saudi Arabia, 1979
e. Keputusan Supreme Shariah Court Pakistan 22 Desember 1999.
4. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Tahun 2000 yang menyatakan bahwa bunga tidak sesuai dengan syari’ah.
5. Keputusan Sidang Lajnah Tarjih Muhammadiyah tahun 1968 di Sidoarjo
yang menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya
konsepsi sistem perekonomian khususnya Lembaga Perbankan yang sesuai
dengan kaidah Islam.
6. Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU tahun 1992 di Bandar
Lampung yang mengamanatkan berdirinya Bank Islam dengan sistem tanpa
bunga.
7. Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang Fatwa
Bunga (interest/fa’idah), tanggal 22 Syawwal 1424/16 Desember 2003.
8. Keputusan Rapat Komisi Fatwa MUI, tanggal 11 Dzulqa’idah 1424/03
Januari 2004; 28 Dzulqa’idah 1424/17 Januari 2004; dan 05 Dzulhijjah
1424/24 Januari 2004.
Dengan memohon ridha Allah SWT
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN : FATWA TENTANG BUNGA (INTEREST/FA’IDAH) :
Pertama : Pengertian Bunga (Interest) dan Riba
1.
Bunga (interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (
al-qardh)
yang diper-hitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan
pemanfaatan/hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu,
diperhitungkan secara pasti di muka, dan pada umumnya berdasarkan
persentase.
2.
Riba adalah tambahan (
ziyadah) tanpa
imbalan (بلا عوض) yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran
(زيادة الأجل) yang diperjanjikan sebelumnya, (اشتُرِطَ مقدماً). Dan
inilah yang disebut riba nasi’ah.
Kedua : Hukum Bunga (Interest)
1. Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang
terjadi pada zaman Rasulullah SAW, yakni riba nasi’ah. Dengan demikian,
praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk riba, dan riba
haram hukumnya.
2. Praktek pembungaan tersebut hukumnya adalah haram, baik dilakukan
oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian, Koperasi, dan Lembaga
Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.
Ketiga : Bermu’amalah dengan Lembaga Keuangan Konvensional
1. Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan Lembaga Keuangan
Syari’ah dan mudah dijangkau, tidak dibolehkan melakukan transaksi yang
didasarkan kepada perhitungan bunga.
2. Untuk wilayah yang belum ada kantor /jaringan Lembaga Keuangan
Syariah, diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan
konvensional berdasarkan prinsip
dharurat/hajat.
Jakarta, 05 Dzulhijjah 1424H
24 Januari 2004 M
MAJELIS ULAMA INDONESIA,
KOMISI FATWA,
Ketua,
K.H. Ma’ruf Amin M.Ag
Sekretaris,
Drs. Hasanudin
BAB II. ISLAM DAN PERBANKAN SYARIAH
2.1. Pengantar
Perbankan adalah suatu lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama
yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan jasa pengiriman
uang. Di dalam sejarah perekonomian kaum muslimin. Fungsi-fungsi bank
telah dikenal sejak jaman Rasulullah SAW, fungsi-fungsi tersebut adalah
menerima titipan harta, meminjamkan uang untuk keperluan konsumsi dan
keperluan bisnis, serta melakukan pengiriman uang.
Rasulullah SAW yang dikenal julukan al Amin, dipercaya oleh masyarakat
Mekah menerima simpanan harta, sehingga pada saat terakhir sebelum Rasul
hijrah ke Madinah, beliau meminta Sayyidina Ali ra untuk mengembalikan
semua titipan itu kepada yang memilikinya1. dalam konsep ini, yang
dititipi tidak dapat memanfaatkan harta titipan tersebut.
Seorang sahabat Rasulullah, Zubair bin al Awwam, memilih tidak menerima
titipan harta. Beliau lebih suka menerimanya dalam bentuk pinjaman.
Tindakan Zubair ini menimbulkan implikasi yang berbeda: pertama, dengan
mengambil uang itu sebagai pinjaman, beliau mempunyai hak untuk
memanfaatkannya; kedua, karena bentuknya pinjaman, maka ia berkewajiban
mengembalikannya utuh 2.
Sahabat lain, Ibnu Abbas tercatat melakukan pengiriman uang ke Kufah.
Juga tercatat Abdullah bin Zubair di Mekah juga melakukan pengiriman
uang ke adiknya Misab bin Zubair yang tinggal di Irak 3.
Penggunaan cek juga telah dikenal luas sejalan dengan meningkatnya
perdagangan antara negeri Syam dengan Yaman, yang paling tidak
berlangsung dua kali setahun. Bahkan di jaman Umar bin Khattab ra,
beliau menggunakan cek untukmembayar tunjangan kepada mereka yang
berhak. Dengan cek ini kemudian mereka mengambil gandum di Baitul Mal
yang ketika itu diimpor dari Mesir 4.
Pemberian modal untuk modal kerja berbasis bagi hasil, seperti
mudharabah, musyarakah, muzara ah, musaqah, telah dikenal sejak awal
diantara kaum Muhajirin dan kaum Anshar5.
Jelaslah bahwa ada individu-individu yang telah melaksanakan fungsi
perbankan di jaman Rasulullah SAW, meskipun individu tersebut tidak
melaksanakan seluruh fungsi perbankan. Ada yang melaksanakan fungsi
menerima titipan harta, ada sahabat yang melaksanakan fungsi
pinjam-meminjam uang, ada yang melaksakan fungsi pengiriman uang, dan
ada pula yang memberikan modal kerja.
Beberapa istilah perbankan modern bahkan berasal dari khazanah ilmu
fiqih, seperti istilah kredit (English: credit; Romawi : credo) yang
diambil dari istilah qard. Credit dalam bahasa inggris berarti
meminjamkan uang; credo berarti kepercayaan; sedangkan qard dalam fiqih
berarti meminjamkan uang atas dasar kepercayaan. Begitu pula istilah cek
(English: check; France : Cheque) yang diambil dari istilah saq
(suquq). Suquq dalam bahasa Arab berarti pasar, sedangkan cek adalah
alat bayar yang biasa digunakan di pasar.
2.2. Perbankan di Jaman Bani Abbasiyah
Istilah bank memang tidak dikenal dalam khazanah keilmuan Islam. Yang
dikenal adalah istilah jihbiz. Kata ‘Jihbiz’ berasal dari bahasa Persia
yang berarti penagih pajak. Istilah jihbiz mulai dikenal di jaman
Mu’awiyah, yang ketika itu fungsinya sebagai penagih pajak dan
penghitung pajak atas barang dan tanah.
Di jaman Bani Abbasiyah, jihbiz populer sebagai suatu profesi penukaran
uang. Pada jaman itu mulai diperkenalkan uang jenis baru yang disebut
fulus yang terbuat dari tembaga. Sebelumnya uang yang digunakan adalah
dinar (terbuat dari emas) dan dirham (terbuat dari perak). Dengan
munculnya fulus, timbul kecenderungan di kalangan para gubernur untuk
mencetak fulusnya masing-masing, sehingga beredar banyak jenis fulus
dengan nilai yang berbeda-beda. Keadaan inilah yang mendorong munculnya
profesi baru yaitu penukaran uang. Di jaman itu, jihbiz tidak saja
melakukan penukaran uang namun juga menerima titipan dana, meminjamkan
uang, dan jasa pengiriman uang. Bila di jaman Rasulullah SAW satu fungsi
perbankan dilaksanakan oleh satu individu, maka di jaman Bani Abbasiyah
ketiga fungsi utama perbankan dilakukan oleh satu individu jihbiz.
2.3. Bolehkah Praktek Perbankan atau Jihbiz ?
Dalam urusan muamalat, hukum asal sesuatu adalah diperbolehkan
kecuali ada dalil yang melarangnya. Ini berarti ketika suatu transaksi
baru muncul di mana belum dikenal sebelumnya dalam hukum Islam, maka
transaksi tersebut dianggap dapat diterima kecuali terdapat implikasi
dari dalil Quran dan Hadist yang melarangnya secara eksplisit maupun
implisit.
Begitu pula Islam menyikapi perbankan atau jihbiz. Pada dasarnya ketiga
fungsi utama perbankan adalah boleh dilakukan, kecuali bila dalam
melaksanakan fungsinya perbankan melakukan hal-hal yang dilarang
syariah. Nah, dalam praktek perbankan konvensional yang dikenal saat
ini, fungsi tersebut dilakukan berdasarkan sistem bunga. Bank
konvensional tidak serta merta identik dengan riba, namun kebanyakan
praktek bank konvensional dapat digolongkan sebagai transaksi ribawi.
Dari definisi riba, sebab (illat) dan tujuan (hikmah) pelarangan riba,
maka dapat diidentifikasi praktek perbankan konvensional yang tergolong
riba. Riba fadl dapat ditemui dalam transaksi jual beli valuta asing
yang tidak dilakukan secara tunai. Riba nasi’ah dapat ditemui dalam
pembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga tabungan / deposito / giro.
Riba jahiliyah dapat ditemui dalam transaksi kartu kredit yang tidak
dibayar penuh tagihannya.
Jelaslah bahwa perbankan konvensional dalam melaksanakan beberapa
kegiatannya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Oleh karena
itu, perlu dilakukan upaya untuk memperkenalkan praktek perbankan
berdasarkan prinsip syariah.
Lima transaksi yang lazim dipraktekkan oleh perbankan syariah :
1. Transaksi yang tidak mengandung riba.
2. Transaksi yang ditujukan untuk memiliki barang dengan cara jual beli (murabahah).
3. Transaksi yang ditujukan untuk mendapatkan jasa dengan cara sewa (ijarah)
4. Transaksi yang ditujukan untuk mendapatkan modal kerja dengan cara bagi hasil (mudharabah)
5. Transaksi deposito, tabungan, giro yang imbalannya adalah bagi hasil (mudharabah) dan transaksi titipan (wadiah).
2.4. Jenis-jenis Riba di Perbankan
Dalam ilmu fiqh dikenal tiga jenis riba yaitu:
a. Riba Fadl
Riba Fadl disebut juga riba buyu yaitu yang timbul akibat pertukaran
barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya (mistlan bi
mistlin), sama kuantitasnya (sawa-an bi sawa-in) dan sama waktu
penyerahannya (yadan bi yadin). Pertukaran semisal ini mengandung gharar
yaitu ketidakjelasan bagi kedua pihak akan nilai masing-masing barang
yang dipertukarkan. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan zalim terhadap
salah satu pihak, kedua pihak, dan pihak-pihak lain.
Contoh berikut ini akan memperjelas adanya gharar. Ketika kaum Yahudi
kalah dalam perang Khaibar, maka harta mereka diambil sebagai rampasan
perang (ghanimah), termasuk diantaranya adalah perhiasan yang terbuat
dari emas dan perak. Tentu saja perhiasan tersebut bukan gaya hidup kaum
muslimin yang sederhana. Oleh karena itu, orang Yahudi berusaha membeli
perhiasannya yang terbuat dari emas tersebut, yang akan dibayar dengan
uang yang terbuat dari emas (dinar) dan uang yang terbuat dari perak
(dirham). Jadi se-benarnya yang akan terjadi bukanlah jual beli, namun
pertukaran barang yang sejenis. Emas ditukar dengan emas, perak ditukar
dengan perak .
Perhiasan perak dengan berat yang setara dengan 40 dirham (satu uqiyah)
dijual oleh kaum muslimin kepada kaum Yahudi seharga dua atau tiga
dirham, padahal nilai perhiasan perak seberat satu uqiyah jauh lebih
tinggi dari sekedar 2-3 dirham. Jadi muncul ketidakjelasan (gharar) akan
nilai perhiasan perakdan nilai uang perak (dirham).
Mendengar hal tersebut Rasulullah SAW mencegahnya dan bersabda: “Dari
Abu Said al-Khdri ra, Rasul SAW bersabda : Transaksi pertukaran emas
dengan emas harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai),
kelebihannya adalah riba; perak dengan perak harus sama takaran dan
timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; tepung
dengan tepung harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan
(tunai), kelebihannya adalah riba; korma dengan korma harus sama
takaran,timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah
riba; garam dengan garam harus sama takaran, timbangan dan tangan ke
tangan (tunai) kelebihannya adalah riba.” (Riwayat Muslim)
Di luar keenam jenis barang ini dibolehkan asalkan dilakukan penyerahannya pada saat yang sama. Rasul SAW bersabda:
“Jangan kamu bertransaksi satu dinar dengan dua dinar, satu dirham
dengan dua dirham; satu sha dengan dua sha karena aku khawatir akan
terjadinya riba (al-rama). Seorang bertanya : wahai Rasul: bagaimana
jika seseorang menjual seekor kuda dengan beberapa ekor kuda dan seekor
unta dengan beberapa ekor unta? Jawab Nabi SAW “Tidak mengapa, asal
dilakukan dengan tangan ke tangan (langsung).”(HR Ahmad dan Thabra¬ni).
Dalam perbankan, riba fadl dapat ditemui dalam transaksi jual beli valuta asing yang tidak dilakukan dengan cara tunai (spot).
b. Riba Nasi’ah
Riba Nasi’ah disebut juga riba duyun yaitu riba yang timbul akibat
hutang-piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko
(al ghunmu bil ghurmi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al kharaj
bi dhaman). Transaksi semisal ini mengandung pertukaran kewajiban
menanggung beban, ha¬nya karena berjalannya waktu. Nasi ah adalah
penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang
dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba Nasi ah mun¬cul
karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan an¬tara barang yang
diserahkan hari ini dengan barang yang diserahkan kemudian. Jadi al
ghunmu (untung) muncul tanpa adanya resiko (al ghurmi), hasil usaha (al
kharaj) muncul tanpa adanya biaya (dhaman); al ghunmu dan al kharaj
muncul hanya dengan berjalannya waktu. Padahal dalam bisnis selalu ada
ke¬mungkinan untung dan rugi. Memastikan sesuatu yang di luar wewenang
manusia adalah bentuk kezaliman (QS AI Hasyr, 18 dan QS Luqman, 34).
Pertukaran kewajiban menanggung beban (exchange of liability) ini, dapat
menimbulkan tindakan zalim terhadap salah satu pihak, kedua pihak, dan
pihak-pihak lain. Pendapat Imam Sarakhzi akan memperjelas hal ini.
“Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa
adanya padanan (iwad) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut”
(Imam Sarakhsi dalam al-Mabsut, juz. Xll., hal. 109).
Dalam perbankan konvensional, riba nasi’ah dapat ditemui dalam
pembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga deposito, tabungan, giro.
c. Riba Jahiliyah
Riba Jahiliyah adalah hutang yang dibayar melebihi dari po¬kok pinjaman,
karena si peminjam tidak mampu mengembali¬kan dana pinjaman pada waktu
yang telah ditetapkan6. Riba Ja¬hiliyah dilarang karena pelanggaran
kaedah “Kullu Qardin Jarra Manfa’ah Fahuwa Riba” (setiap pinjaman yang
mengambil manfaat adalah riba). Dari segi penundaan waktu
penyerahan¬nya, riba jahiliyah tergolong Riba Nasi ah; dari segi
kesamaan objek yang dipertukarkan, tergolong Riba Fadl. Tafsir Qurtuby
menjelaskan:
“Pada Zaman Jahiliyah para kreditur, apabila hutang sudah jatuh tempo,
akan berkata kepada para debitur : “Lunaskan hu¬tang anda sekarang, atau
anda tunda pembayaran itu dengan tambahan” “Maka pihak debitur harus
menambah jumlah kewa¬jiban pembayaran hutangnya dan kreditur menunggu
waktu pembayaran kewajiban tersebut sesuai dengan ketentuan baru. ”
(Tafsir Qurtubi, 2/1157).
Dalam perbankan konvensional, riba jahiliyah dapat ditemui dalam pengenaan bunga pada transaksi kartu kredit.
2.5. Sesuai Syariahkah Murabahah Perbankan Syariah?
Murabahah yang dilakukan oleh perbankan syariah me¬mang tidak sama
persis dengan definisi murabahah yang dike¬nal dalam kitab-kitab fiqih.
Murabahah yang lazimnya dijelaskan dalam kitab fiqih hanya melibatkan
dua pihak yaitu penjual dan pembeli. Metode pembayarannya dapat
dilakukan tunai (naqdan) atau cicilan (bi tsaman ajil / muajjal).
Sedangkan dalam perbankan syariah sebenarnya terdapat dua akad murabahah
yang melibatkan tiga pihak. Murabahah pertama dilakukan secara tunai
antara bank (sebagai pembeli) dengan penjual barang. Murabahah kedua
dilakukan secara cicilan antara bank (sebagai penjual) dengan nasabah
bank. Lazimnya bisnis, tentu bank mengambil keuntungan dari transaksi
murabahah ini. Rukun murabahah pertama terpenuhi sempurna (ada penjual –
ada pembeli, ada barang yang diperjual-belikan, ada ijab-kabul)
demikian pula rukun murabahah kedua. Dengan demikian dapat dikatakan
kedua akad murabahah ini sah.
2.6. Sesuai Syariahkah Ijarah Perbankan Syariah?
Ijarah yang dilakukan oleh perbankan syariah memang tidak sama persis
dengan definisi ijarah yang dikenal dalam kitab-kitab fiqiah. Ijarah
yang lazimnya dijelaskan dalam kitab fiqih hanya melibatkan dua pihak
yaitu penyewa dan yang menyewakan. Metode pembayarannya dapat dilakukan
tunai (naqdan) atau cicilan (bi tsaman ajil / muajjal).
Sedangkan dalam perbankan syariah sebenarnya terdapat dua akad ijarah
yang melibatkan tiga pihak. Ijarah pertama di¬lakukan secara tunai
antara bank (sebagai penyewa) dengan yang menyewakan jasa. Ijarah kedua
dilakukan secara cicilan antara bank (sebagai yang menyewakan) dengan
nasabah bank. Lazimnya bisnis, tentu bank mengambil keuntungan dari
transaksi ijarah ini. Rukun ijarah pertama terpenuhi sempurna (ada
penyewa – ada yang menyewakan, ada jasa yang disewa¬kan, ada ijab-kabul)
demikian pula rukun ijarah kedua. Dengan demikian dapat dikatakan kedua
akad ijarah ini sah.
2.7. Sesuai Syariahkah Mudharabah Perbankan Syariah?
Mudharabah yang dilakukan oleh perbankan syariah sama persis dengan
definisi mudharabah yang dikenal dalam kitab-ki¬tab fiqih. Bank
bertindak sebagai pelaksana usaha (mudharib) dan nasabah bank bertindak
sebagai pemilik dana. Dana tersebut digunakan bank untuk melakukan
murabahah atau ijarah seperti yang telah dijelaskan terdahulu. Dapat
pula dana terse¬but digunakan bank untuk melakukan mudharabah kedua.
Hasil usaha ini akan dibagi hasilkan berdasarkan nisbah yang
dise¬pakati. Rukun mudharabah terpenuhi sempurna (ada mudharib – ada
pemilik dana, ada usaha yang akan dibagihasilkan, ada nisbah, ada
ijab-kabul). Dengan demikian dapat dikatakan akad mudharabah ini sah.
BAB III. MEKANISME DAN SISTEM OPERASI BANK SYARIAH
•
Pertanyaan:
Apakah nasabah investor (deposan) Bank Syariah mendapat imbalan bunga?
•
Jawab:
Tidak, karena bank syariah tidak beroperasi berdasarkan sis¬tem bunga.
•
Pertanyaan:
Kalau begitu tidak memperoleh imbalan apa-apa?
•
Jawab:
Dapat imbalan berupa bagi hasil.
•
Pertanyaan:
Apakah bagi hasil itu ? Bagaimana nasabah investor bisa memperoleh bagi hasil?
•
Jawab:
Dulu Muhammad al Amin bermitra dengan Siti Khadijah r.a. dalam suatu usaha perdagangan seperti tertera dalam skema berikut ini:
Waktu itu Siti Khadijah r.a. menyer¬ahkan modal berupa barang
dagangan kepada Muhammad al Amin bin Abdullah. Oleh Muhammad al Amin
barang-barang tersebut di¬perjualbelikan di pasar. Keuntungan dari hasil
usaha tersebut kemudian dibagi untuk Siti Khadijah ra dan Muhammad al
Amin. Besarnya bagian masing-masing sesuai dengan kesepakatan yang telah
dibuat. Inilah yang disebut dengan bagi hasil. Cara kerja tersebut
ditiru oleh bank syariah.
Keterangan gambar :
1. Nasabah investor menyerahkan dananya kepada bank untuk dikelola
2. Bank melakukan penjualan cicilan
a. Bank memberikan bagian keuntungan penjualan kepada nasabah
b. Bank mencatat pembayaran modal dan keuntungan bank
3. Bank melakukan sewa cicilan
a. Bank memberikan bagian keuntungan penyewaan kepada nasabah
b. Bank mencatat pembayaran modal dan keuntungan bank
4. Bank melakukan kerjasama usaha
a. Bank memberikan bagian keuntungan kerjasama usaha kepada nasabah
b. Bank mencatat pembayaran modal dan keuntungan bank
Sistem ini memungkinkan nasabah investor, untuk mengawasi kinerja bank
syariah secara langsung. Bila jumlah keuntung¬an yang dihasilkan bank
dari pembiayaan semakin besar, maka bagi hasil untuk nasabah investor
juga semakin besar.
Sebaliknya jika bagi hasil yang diterima nasabah investor semakin
kecil, maka hal itu disebabkan oleh menurunnya kemampuan bank syariah
untuk menghasilkan keuntungan. Mengecilnya bagi hasil untuk nasabah
investor dalam waktu yang cukup lama merupakan pertanda bahwa bank
syariah yang bersangkutan semakin tidak efisien. Ini merupakan
peringatan dini (early warning system) bagi nasabah investor secara
transparan akan kinerja bank syariah yang dipercayainya mengelola dana.
Pada bank dengan sistem bunga, nasabah deposan tidak dapat mengetahui
kinerja keuangan bank dari indikasi bunga yang diperoleh karena tiap
bulan memperoleh bunga yang besarnya tetap. Jadi dalam perbankan
konvensional, nasabah tidak dapat mengetahui secara dini dan transparan
kinerja bank.
Pertanyaan:
Apakah ada kemungkinan bagi hasil untuk nasabah investor negatif?
Jawab:
Pengelolaan yang buruk akan menyebabkan bank syariah mengalami kerugian.
Dalam hal bank syariah mengalami kerugian, maka dapat terjadi dua hal.
Pertama, bila dalam akad disepakati yang dibagihasilkan adalah profit
(pendapatan dikurangi biaya), maka secara teoritis ada kemungkinan
terjadi bagi hasil negatif. Kedua, bila dalam akad disepakati yang
dibagihasilkan adalah pendapatan, maka tidak mungkin terjadi bagi hasil
negatif. Paling buruk hanyalah bagi hasil nol. Itu pun hanya terjadi
bila pendapatan bank nol.
Pertanyaan:
Nasabah suatu bank syariah jumlahnya ribuan, bahkan mungkin jutaan.
Nilai nominal tiap rekening juga ber-beda-beda dan berfluktuasi. Lalu
bagaimana bagi hasil didistribusikan ke dalam tiap rekening tersebut
Jawab:
Terdapat tiga skema aliran dana dari nasabah investor kepada bank: Pertama,
dari satu nasabah investor kepada satu nasabah pembiayaan (yang dalam
bank konvensional disebut debitur). Dalam skema ini bank syariah
bertindak sebagai arranger saja. Pencatatan transaksinya di bank syariah
secara off balance sheet. Bagi hasilnya hanya melibatkan nasabah
investor dan pelaksana usaha saja. Besar bagi hasil tergantung
kesepakatan antara nasabah investor dan nasabah pembiayaan. Bank hanya
memperoleh arranger fee. Skema ini dikenal dengan nama
mudharabah-muqayyadah off balance-sheet. Disebut mudharabah karena
skemanya bagi hasil, muqayyadah karena ada pembatasan, yaitu hanya untuk
pelaksana usaha tertentu, dan off balance-sheet karena tidak dicatat
dalam neraca bank, hanya dicatat dalam rekening administratif saja. Hal
ini digambarkan pada gambar 3.
Kedua; aliran dana dapat terjadi dari satu nasabah
investor ke sekelompok pelaksana usaha dalam beberapa sektor terba¬tas,
misalnya: pertanian, manufaktur, dan jasa. Nasabah invest¬or lainnya
mungkin mensyaratkan dananya hanya boleh dipakai untuk pembiayaan di
sektor pertambangan, properti, dan pertanian. Selain berdasarkan sektor,
nasabah investor dapat saja mensyaratkan berdasarkan jenis akad yang
digunakan; misal¬nya hanya boleh digunakan berdasarkan akad penjualan
cicilan saja; atau penyewaan cicilan saja, atau kerjasama usaha saja.
Skema ini membuat bank terlibat dalam mudharabah muqayyadah on
balance-sheet. Disebut on balance sheet karena dicatat dalam neraca
bank. Skema bagi hasilnya mengikuti Gambar 4a. Nisbah bagi hasil
disepakati antara nasabah investor dan bank.
Ketiga, dari seluruh nasabah investor kepada bank
tanpa ada pembatasan tertentu pada pelaksana usaha yang dibiayai maupun
akad yang digunakan. Nasabah investor memberikan kebe¬basan secara
mutlak kepada bank syariah untuk mengatur se¬luruh aliran dana; termasuk
memutuskan jenis akad dan pelaksana usaha di seluruh sektor. Skema ini
disebut mudhara¬bah muthlaqah on balance-sheet.
Pertanyaan :
Bagaimana mekanisme bank melakukan transaksi penjualan secara cicilan?
Jawab:
Bank melakukan pembelian barang yang diinginkan nasabah pembeli secara
tunai, kemudian menjualnya kepada nasabah pembeli secara cicilan. Gambar
6 ini dapat memperjelas mekanisme tersebut.
Pertanyaan :
Bagaimana mekanisme bank melakukan transaksi peyewaan secara cicilan?
Jawab:
Bank menyewa jasa yang diinginkan nasabah penyewa secara tunai,
kemudian enyewakannya kepada nasabah penyewa secara cicilan. Gambar 7
ini dapat memperjelas mekanisme tersebut.
Pertanyaan:
Bagaimana mekanisme bank melakukan transaksi penyewaan secara
cicilan, bila kemudian nasabah penye¬waan itu ingin memiliki pada akhir
masa penyewaan?
Jawab:
Bank melakukan pembelian barang yang diinginkan nasabah pembeli secara
tunai, kemudian menyewakannya kepada nasabah penyewa secara cicilan.
Pada akhir masa penyewaan, bank menjual barang tersebut kepada nasabah
penyewa. Penjualan ini dapat dilakukan secara tunai, atau secara
cicilan. Gambar 8 ini dapat memperjelas mekanisme tersebut.
Pertanyaan:
Bagaimana mekanisme bank melakukan trans¬aksi kerjasama usaha?
Jawab:
Bank melakukan penyertaan modal dalam usaha kerjasama dimaksud. Bank dan
pelaksana usaha menyepakati nisbah bagi hasilnya, untuk kemudian bank
dan pelaksana usaha akan ber¬bagi hasil atas hasil usaha kerjasama
tersebut. Gambar 9 ini dapat memperjelas mekanisme tersebut.
BAB IV. PRODUK PERBANKAN SYARIAH
Produk perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: (I)
Produk Penyaluran Dana, (II) Produk Penghimpunan Dana, dan (III) Produk
yang berkaitan dengan jasa yang diberikan perbankan kepada nasabahnya.
4.1. Penyaluran Dana
Dalam menyalurkan dana pada nasabah, secara garis besar produk
pembiayaan syariah terbagi ke dalam tiga kategori yang dibedakan
berdasarkan tujuan penggunaannya yaitu:
1. Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk memiliki barang dilakukan dengan prinsip jual beli.
2. Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk mendapatkan jasa dilakukan dengan prinsip sewa.
3. Transaksi pembiayaan untuk usaha kerjasama yang ditujukan guna
mendapatkan sekaligus barang dan jasa, dengan prinsip bagi hasil.
Pada kategori pertama dan kedua, tingkat keuntungan bank ditentukan
di depan dan menjadi bagian harga atas barang atau jasa yang dijual.
Produk yang termasuk dalam kelompok ini adalah produk yang menggunakan
prinsip jual-beli seperti
murabahah, salam, dan istishna serta produk yang menggunakan prinsip sewa yaitu
ijarah.
Sedangkan pada kategori ketiga, tingkat keuntungan bank ditentukan dari
besarnya keuntungan usaha sesuai dengan prinsip bagi-hasil. Pada produk
bagi hasil keuntungan ditentukan oleh nisbah bagi hasil yang disepakati
di muka. Produk perbankan yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah
musyarakah dan
mudharabah.
4.1.1. Prinsip Jual Beli (Ba’i)
Prinsip jual-beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda (
transfer of property). Tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual.
Transaksi jual-beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barang seperti:
a. Pembiayaan Murabahah
Murabahah bi tsaman ajil atau lebih dikenal sebagai
murabahah.
Murabahah berasal dari kata
ribhu (keuntungan)
adalah transaksi jual-beli di mana bank menyebut jumlah keuntungannya.
Bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Harga
jual adalah harga beli bank dari pemasok ditambah keuntungan. Kedua
pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga
jual dicantumkan dalam akad jual-beli dan jika telah disepakati tidak
dapat berubah selama berlakunya akad. Dalam perbankan,
murabahah lazimnya dilakukan dengan cara pembayaran cicilan (
bi tsaman ajil). Dalam transaksi ini barang diserahkan segera setelah akad sedangkan pembayaran dilakukan secara tangguh.
b. Salam
Salam adalah transaksi jual beli di mana barang yang
diperjualbelikan belum ada. Oleh karena itu barang diserahkan secara
tangguh sedangkan pembayaran dilakukan tunai. Bank bertindak sebagai
pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Sekilas transaksi ini mirip
jual beli ijon, namun dalam transaksi ini kuantitas, kualitas, harga,
dan waktu penyerahan barang harus ditentukan secara pasti.
Dalam praktek perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank,
maka bank akan menjualnya kepada rekanan nasa¬bah atau kepada nasabah
itu sendiri secara tunai atau secara cicilan. Harga jual yang ditetapkan
bank adalah harga beli bank dari nasabah ditambah keuntungan. Dalam hal
bank menjualnya secara tunai biasanya disebut pembiayaan talangan (
bridging financing).
Sedangkan dalam hal bank menjualnya secara cicilan, kedua pihak harus
menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual
dicantumkan dalam akad jual-beli dan jika telah disepakati tidak dapat
berubah selama berlakunya akad. Umumnya transaksi ini diterapkan dalam
pembiayaan barang yang belum ada seperti pembelian komoditi pertanian
oleh bank untuk kemudian dijual kembali secara tunai atau secara
cicilan.
Ketentuan umum Salam:
• Pembelian hasil produksi harus diketahui spesifikasinya secara jelas
seperti jenis, macam, ukuran, mutu dan jumlahnya. Misalnya jual beli 100
kg mangga harum manis kualitas “A” dengan harga Rp5000 / kg, akan
diserahkan pada panen dua bulan mendatang.
• Apabila hasil produksi yang diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad maka nasabah (
produsen)
harus bertanggung jawab dengan cara antara lain mengembalikan dana yang
telah diterimanya atau mengganti barang yang sesuai dengan pesanan.
• Mengingat bank tidak menjadikan barang yang dibeli atau dipesannya sebagai persediaan (
inventory), maka dimungkinkan bagi bank untuk melakukan akad
salam
kepada pihak ketiga (pembeli kedua) seperti bulog, pedagang pasar induk
atau rekanan. Mekanisme seperti ini disebut dengan paralel
salam.
c. Istishna
Produk
istishna menyerupai produk
salam, namun dalam
istishna pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali (termin) pembayaran. Skim
istishna dalam bank syariah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi.
Ketentuan umum:
• Spesifikasi barang pesanan harus jelas seperti jenis, macam ukuran,
mutu dan jumlah. Harga jual yang telah disepakati dicantumkan dalam akad
istishna
dan tidak boleh berubah selama berlakunya akad. Jika terjadi perubahan
dari kriteria pesanan dan terjadi perubahan harga setelah akad
ditandatangani, maka seluruh biaya tambahan tetap ditanggung nasabah.
4.1.2. Prinsip Sewa (Ijarah)
Transaksi
ijarah dilandasi adanya perpindahaan manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip
ijarah
sama saja dengan prinsip jual beli, namun perbedaannya terletak pada
objek transaksinya. Bila pada jual beli objek transaksinya adalah
barang, maka pada ijarah objek transaksinya adalah jasa.
Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang
disewakannya kepada nasabah. Karena itu dalam perbankan syariah dikenal
ijarah muntahhiyah bittamlik (sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan). Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian.
4.1.3. Prinsip Bagi Hasil (Syirkah)
Produk pembiayaan syariah yang didasarkan prinsip bagi hasil adalah:
a. Musyarakah
Bentuk umum dari usaha bagi hasil adalah
musyarakah (
syirkah atau
syarikah atau serikat atau kongsi). Transaksi
musyarakah
dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerjasama untuk
meningkatkan nilai asset yang mereka miliki secara bersama-sama.
Termasuk dalam golongan
musyarakah adalah semua bentuk usaha
yang melibatkan dua pihak atau lebih dima¬na mereka secara bersama-sama
memadukan seluruh bentuk sumber daya baik yang berwujud maupun tidak
berwujud.
Secara spesifik bentuk kontribusi dari pihak yang bekerjasama dapat berupa dana, barang perdagangan (
trading asset), kewiraswastaan (
entrepreneurship), kepandaian (
skill), kepemilikan (
property), peralatan (
equipment) , atau
intangible asset (seperti hak paten atau
goodwill), kepercayaan/reputasi (
credit worthiness)
dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang. Dengan
merangkum seluruh kombinasi dari bentuk kontribusi masing-masing pihak
dengan atau tanpa batasan waktu menjadikan produk ini sangat fleksibel.
Ketentuan umum:
Semua modal disatukan untuk dijadikan modal proyek
musyarakah
dan dikelola bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam
menentukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek.
Pemilik modal dipercaya untuk menjalankan proyek musyarakah tidak boleh
melakukan tindak¬an seperti:
• Menggabungkan dana proyek dengan harta pribadi.
• Menjalankan proyek musyarakah dengan pihak lain tanpa ijin pemilik modal lainnya.
• Memberi pinjaman kepada pihak lain.
• Setiap pemilik modal dapat mengalihkan penyertaan atau di¬gantikan oleh pihak lain.
• Setiap pemilik modal dianggap mengakhiri kerjasama apabila:
¥ Menarik diri dari perserikatan
¥ Meninggal dunia,
¥ Menjadi tidak cakap hukum
• Biaya yang timbul dalam pelaksanaan proyek dan jangka waktu proyek
harus diketahui bersama. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan sedangkan
kerugian dibagi sesuai dengan porsi kontribusi modal.
• Proyek yang akan dijalankan harus disebutkan dalam akad. Setelah
proyek selesai nasabah mengembalikan dana terse¬but bersama bagi hasil
yang telah disepakati untuk bank.
b. Mudharabah
Secara spesifik terdapat bentuk
musyarakah yang popular dalam produk perbankan syariah yaitu
mudharabah.
Mudharabah adalah bentuk kerjasama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal (
shahibul maal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (
mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerjasama dengan kontribusi 100% modal dari
shahibul maal dan keahlian dari
mudharib.
Transaksi jenis ini tidak mensyaratkan adanya wakil
shahibul maal dalam manajemen proyek. Sebagai orang kepercayaan,
mudharib harus
bertindak hati-hati dan bertanggung jawab untuk setiap kerugian yang
terjadi akibat kelalaian. Sedangkan sebagai wakil shahibul maal dia
diharapkan untuk mengelola modal dengan cara tertentu untuk menciptakan
laba optimal.
Perbedaan yang esensial dari
musyarakah dan
mudharabah terletak pada besarnya kontribusi atas manajemen dan keuangan atau salah satu diantara itu. Dalam
mudharabah modal hanya berasal dari satu pihak, sedangkan dalam
musyarakah modal berasal dari dua pihak atau lebih.
musyarakah dan
mudharabah dalam literatur fiqih berbentuk perjanjian kepercayaan (
uqud al amanah)
yang menuntut tingkat kejujuran yang tinggi dan menjunjung keadilan.
Karenanya masing-masing pihak harus menjaga kejujuran untuk kepentingan
bersama dan setiap usaha dari masing-masing pihak untuk melakukan
kecurangan dan ketidakadilan pembagian pendapatan betul-betul akan
merusak ajaran Islam.
Ketentuan umum:
• Jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal;
harus diserahkan tunai, dapat berupa uang atau barang yang dinyatakan
nilainya dalam satuan uang. Apabila modal diserahkan secara bertahap,
harus jelas tahapannya dan disepakati bersama.
• Hasil dan pengelolaan modal pembiayaan
mudharabah dapat diperhitungkan dengan dua cara:
¥ (Perhitungan dari pendapatan proyek (
revenue sharing)
¥ (Perhitungan dari keuntungan proyek (
profit sharing)
• Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad, pada setiap
bulan atau waktu yang disepakati. Bank selaku pemilik modal menanggung
seluruh kerugian kecuali akibat kelalaian dan penyimpangan pihak
nasabah, seperti penyeleweng-an, kecurangan dan penyalahgunaan dana.
• Bank berhak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan namun tidak berhak
mencampuri urusan pekerjaan/usaha nasabah. Jika nasabah cidera janji
dengan sengaja misalnya tidak mau membayar kewajiban atau menunda
pembayaran kewa¬jiban, dapat dikenakan sanksi administrasi.
Mudharabah Muqayyadah
Karakteristik
mudharabah muqayadah pada dasarnya sama dengan
persyaratan di atas. Perbedaannya adalah terletak pada adanya pembatasan
penggunaan modal sesuai dengan permintaan pemilik modal.
4.1.4. Akad Pelengkap
Untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan, biasanya diperlukan juga akad
pelengkap. Akad pelengkap ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan,
namun ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan. Meskipun tidak
ditujukan untuk mencari keuntungan, dalam akad pelengkap ini dibolehkan
untuk meminta pengganti biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan
akad ini. Besarnya pengganti biaya ini sekedar untuk menutupi biaya
yang benar-benar timbul.
a. Hiwalah (Alih Utang-Piutang)
Hiwalah adalah transaksi mengalihkan utang piutang. Dalam praktek perbankan syariah fasilitas
hiwalah lazimnya untuk membantu
supplier mendapatkan
modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya. Bank mendapat ganti
biaya atas jasa pemindahan piutang. Untuk mengantisipasi resiko kerugian
yang akan timbul, bank perlu melakukan penelitian atas kemampuan pihak
yang berutang dan kebenaran transaksi antara yang memindahkan piutang
dengan yang berutang. Katakanlah seorang
supplier bahan bangunan menjual barangnya kepada pemilik proyek yang akan dibayar dua bulan kemudian. Karena kebutuhan
supplier akan likuiditas, maka ia meminta bank untuk mengambil alih piutangnya. Bank akan menerima pembayaran dari pemilik proyek.
b. Rahn (Gadai)
Tujuan akad
rahn adalah untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan.
Barang yang digadaikan wajib memenuhi kriteria :
• Milik nasabah sendiri.
• Jelas ukuran, sifat, dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar.
• Dapat dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank. Atas izin
bank, nasabah dapat menggunakan barang tertentu yang digadaikan dengan
tidak mengurangi nilai dan merusak barang yang digadaikan. Apabila
barang yang digadaikan rusak atau cacat, maka nasabah harus
bertanggungjawab.
Apabila nasabah wanprestasi, bank dapat melakukan penjualan barang yang
digadaikan atas perintah hakim. Nasabah mempunyai hak untuk menjual
barang tersebut dengan seizin bank. Apabila hasil penjualan melebihi
kewajibannya, maka ke-lebihan tersebut menjadi milik nasabah. Dalam
hasil penjualan tersebut lebih kecil dari kewajibannya, nasabah menutupi
keku¬rangannya.
c. Qardh
Qardh adalah pinjaman uang. Aplikasi
qardh dalam perbankan biasanya dalam empat hal, yaitu :
Sebagai pinjaman talangan haji, dimana nasabah calon haji diberikan
pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran. Biaya perjalanan
haji. Nasabah akan melunasinya sebelum keberangkatannya ke haji.
Sebagai pinjaman tunai (
cash advanced) dari produk kartu kredit
syariah, dimana nasabah diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai
milik bank melalui ATM. Nasabah akan mengembalikannya sesuai waktu yang
ditentukan.
Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil, dimana menurut perhitungan bank
akan memberatkan si pengusaha bila diberikan pembiayaan dengan skema
jual beli,
ijarah, atau bagi hasil.
Sebagai pinjaman kepada pengurus bank, dimana bank me¬nyediakan
fasilitas ini untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus bank.
Pengurus bank akan mengembalikannya secara cicilan melalui pemotongan
gajinya.
d. Wakalah (Perwakilan)
Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah
memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan
jasa tertentu, seperti pembukuan L/C, inkaso dan transfer uang.
Bank dan nasabah yang dicantumkan dalam akad pemberian kuasa harus cakap
hukum. Khusus untuk pembukaan L/C, apabila dana nasabah ternyata tidak
cukup, maka penyelesaian L/C (
settlement L/C) dapat dilakukan dengan pembiayaan
murabahah, salam, ijarah, mudharabah, atau
musyakarah.
Kelalaian dalam menjalankan kuasa menjadi tanggung jawab bank, kecuali kegagalan karena
force majeure menjadi tanggung jawab nasabah.
Apabila bank yang ditunjuk lebih dari satu, maka masing-masing bank
tidak boleh bertindak sendiri-sendiri tanpa musyawarah dengan bank yang
lain, kecuali dengan seizin nasabah.
Tugas, wewenang dan tanggung jawab bank harus jelas sesuai kehendak
nasabah bank. Setiap tugas yang dilakukan ha¬rus mengatasnamakan nasabah
dan harus dilaksanakan oleh bank. Atas pelaksanaan tugasnya tersebut,
bank mendapat pengganti biaya berdasarkan kesepakatan bersama.
Pemberian kuasa berakhir setelah tugas dilaksanakan dan disetujui bersama antara nasabah dengan bank.
e. Kafalah (Garansi Bank)
Garansi bank dapat diberikan dengan tujuan untuk menjamin pembayaran
suatu kewajiban pembayaran. Bank dapat mempersyaratkan nasabah untuk
menempatkan sejumlah dana untuk fasilitas ini sebagai
rahn. Bank dapat pula menerima dana tersebut dengan prinsip
wadi’ah. Bank mendapatkan pengganti biaya atas jasa yang diberikan.
4.2. Produk Penghimpunan Dana
Penghimpunan dana di bank syariah dapat berbentuk giro, tabungan dan
deposito. Prinsip operasional syariah yang diterapkan dalam
penghimpunan dana masyarakat adalah prinsip
wadi’ah dan
mudharabah.
4.2.1. Prinsip Wadiah
Prinsip
wadi’ah yang diterapkan adalah
wadi’ah yad dhamanah yang diterapkan pada produk rekening giro.
Wadi’ah dhamanah berbeda dengan
wadi’ah amanah. Dalam
wadi’ah amanah, pada prinsipnya harta titipan tidak boleh dimanfaatkan oleh yang dititipi. Sedangkan dalam hal
wadi’ah dhamanah,
pihak yang dititipi (bank) bertanggung jawab atas keutuhan harta
titipan sehingga ia boleh memanfaatkan harta titipan tersebut.
Karena
wadi’ah yang diterapkan dalam produk giro perbankan ini juga disifati dengan
yad dhamanah, maka implikasi hukumnya sama dengan
qardh,
dimana nasabah bertindak sebagai yang meminjamkan uang, dan bank
bertindak sebagai yang dipinjami. Jadi mirip seperti yang dilakukan
Zubair bin Awwam ketika menerima titipan uang di jaman Rasulullah SAW’.
Ketentuan umum dari produk ini adalah:
• Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau
ditanggung bank, sedang pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak
menanggung kerugian. Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik
dana sebagai sua¬tu insentif untuk menarik dana masyarakat namun tidak
boleh diperjanjikan di muka.
• Bank harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup izin
penyaluran dana yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati
selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Khusus bagi pemilik
rekening giro, bank dapat memberikan buku cek, bilyet giro, dan debit
card.
• Terhadap pembukaan rekening ini bank dapat mengenakan pengganti biaya
administrasi untuk sekedar menutupi biaya yang benar-benar terjadi.
• Ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan rekening giro dan
tabungan tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
4.2.2. Prinsip Mudharabah
Dalam mengaplikasikan prinsip
mudharabah, penyimpan atau deposan bertindak sebagai
shahibul maal (pemilik modal) dan bank sebagai
mudharib (pengelola). Dana tersebut digunakan bank untuk melakukan pembiayaan
murabahah atau
ijarah seperti yang telah dijelaskan terdahulu. Dapat pula dana tersebut digunakan bank untuk melakukan pembiayaan
mudharabah.
Hasil usaha ini akan dibagi hasilkan berdasarkan nisbah yang
disepakati. Dalam hal bank menggunakannya untuk melakukan pembiayaan
mudharabah, maka bank bertanggung jawab penuh atas kerugian yang terjadi2. Rukun
mudharabah terpenuhi sempurna (ada
mudharib - ada pemilik dana, ada usaha yang akan dibagi hasilkan, ada nisbah, ada ijab kabul). Prinsip
mudharabah ini diaplikasikan pada produk tabungan berjangka dan deposito berjangka.
Berdasarkan kewenangan yang diberikan pihak penyimpan dana, prinsip
mudharabah terbagi tiga yaitu:
a. Mudharabah mutlaqah
Penerapan
mudharabah mutlaqah dapat berupa tabungan dan deposito sehingga terdapat dua jenis penghimpunan dana yaitu: tabungan
mudharabah dan deposito
mudharabah. Berda¬sarkan prinsip ini tidak ada pembatasan bagi bank dalam menggunakan dana yang dihimpun.
Ketentuan umum dalam produk ini adalah:
• Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata
cara pemberitahuan keuntungan dan atau pembagian keuntungan secara
resiko yang dapat ditimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila telah
tercapai kesepakatan; maka hal tersebut harus dicantumkan dalam akad.
• Untuk tabungan mudharabah, bank dapat memberikan buku tabungan sebagai
bukti penyimpanan, serta kartu ATM dan atau alat penarikan lainnya
kepada penabung. Untuk deposito mudharabah, bank wajib memberikan
sertifikat atau tanda penyimpanan (bilyet) deposito kepada deposan.
• Tabungan mudharabah dapat diambil setiap saat oleh penabung sesuai
dengan perjanjian yang disepakati, namun tidak diperkenankan mengalami
saldo negatif.
• Deposito mudharabah hanya dapat dicairkan sesuai dengan jangka waktu
yang telah disepakati. Deposito yang diperpanjang, setelah jatuh tempo
akan diperlakukan sama seperti de¬posito baru, tetapi bila pada akad
sudah dicantumkan perpan¬jangan otomatis maka tidak perlu dibuat akad
baru.
• Ketentuan-ketentuan yang lain yang berkaitan dengan tabungan dan
deposito tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip
syariah.
b. Mudharabah Muqayyadah on Balance Sheet
Jenis
mudharabah ini merupakan simpanan khusus (
restricted investment)
dimana pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus
dipatuhi oleh bank. Misalnya disyaratkan digunakan untuk bisnis
tertentu, atau disyaratkan digu¬nakan dengan akad tertentu, atau
disyaratkan digunakan untuk nasabah tertentu.
Karakteristik jenis simpanan ini adalah sebagai berikut :
• Pemilik dana wajib menetapkan syarat tertentu yang harus di¬ikuti oleh
bank wajib membuat akad yang mengatur persyarat¬an penyaluran dana
simpanan khusus.
• Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata
cara pemberitahuan keuntungan dan atau pembagian keuntungan secara
resiko yang dapat ditimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila telah
tercapai kesepakatan, maka hal tersebut harus dicantumkan dalam akad.
• Sebagai tanda bukti simpanan bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank wajib memisahkan dana dari rekening lainnya.
• Untuk deposito mudharabah, bank wajib memberikan sertifikat atau tanda penyimpanan (bilyet) deposito kepada deposan.
c. Mudharabah Muqayyadah off Balance Sheet
Jenis
mudharabah ini merupakan penyaluran dana
mudharabah langsung kepada pelaksana usahanya, dimana bank ber¬tindak sebagai perantara (
arranger)
yang mempertemukan antara pemilik dana dengan pelaksana usaha. Pemilik
dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh
bank dalam mencari kegiatan usaha yang akan dibiayai dan pelaksana
usahanya.
Karakteristik jenis simpanan ini adalah sebagai berikut :
• Sebagai tanda bukti simpanan bank menerbitkan bukti simpanan khusus.
Bank wajib memisahkan dana dari rekening lainnya. Simpanan khusus
dicatat pada pos tersendiri dalam rekening administratif.
• Dana simpanan khusus harus disalurkan secara langsung kepada pihak yang diamanatkan oleh pemilik dana.
• Bank menerima komisi atas jasa mempertemukan kedua pihak. Sedangkan
antara pemilik dana dan pelaksana usaha berlaku nisbah bagi hasil.
4.2.3. Akad Pelengkap
Untuk mempermudah pelaksanaan penghimpunan dana, biasanya diperlukan
juga akad pelengkap. Akad pelengkap ini tidak ditujukan untuk mencari
keuntungan, namun ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan.
Meskipun tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, dalam akad pelengkap
ini dibolehkan untuk meminta pengganti biaya-biaya yang dikeluarkan
untuk melaksanakan akad ini. Besarnya pengganti biaya ini sekedar untuk
menutupi biaya yang benar-benar timbul.
Wakalah (Perwakilan)
Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah
memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan
jasa tertentu, seperti inkaso dan transfer uang.
4.3. Jasa Perbankan
Bank syariah dapat melakukan berbagai pelayanan jasa perbankan kepada
nasabah dengan mendapat imbalan berupa sewa atau keuntungan. Jasa
perbankan tersebut antara lain berupa :
4.3.1. Sharf (Jual Beli Valuta Asing)
Pada prinsipnya jual-beli valuta asing sejalan dengan prinsip
sharf.
Jual beli mata uang yang tidak sejenis ini, penyerahannya harus
dilakukan pada waktu yang sama (spot). Bank mengambil keuntungan dari
jual beli valuta asing ini.
4.3.2. ljarah (Sewa)
Jenis kegiatan ijarah antara lain penyewaan kotak simpanan (safe deposit
box) dan jasa tata-laksana administrasi dokumen (custodian). Bank dapat
imbalan sewa dari jasa tersebut.
BAB V. SISTEM DAN PERHITUNGAN
Dari Sudut Pandang Nasabah Investor
Pertanyaan 1. :
Bila nasabah investor melakukan investasi dengan akad
mudharabah muqayyadah off balance sheet bagaimana cara penghitungan bagi hasilnya?
Jawab 1. :
Dalam skema ini bank syariah bertindak sebagai
arranger
saja. Pencatatan transaksinya di bank syariah secara off balance sheet.
Bagi hasilnya hanya melibatkan nasabah investor dan pelaksana usaha
saja. Besar bagi hasil tergantung kesepakatan antara nasabah investor
dan pelaksana usaha. Bank hanya memperoleh
arranger fee.
Misalnya, seorang nasabah investor ingin berinvestasi sebesar Rp 10
milyar, dan disepakati nisbah bagi hasil antara investor dengan
pelaksana usaha sebesar 35:65. Karena bank hanya bertindak sebagai
arranger, maka tidak ada dana bank yang digunakan. Katakan pula, pada
akhir bulan, pendapatan dari usaha yang dibiayai sebesar Rp 160 juta.
Bagi hasil investasi nasabah investor dapat dihitung dengan sistem
berikut:
___________________________________________________________
Jumlah Dana Nasabah Investor : A = 10.000.000.000
Dana bank: B = 0
Pembiayaan yang disalurkan = A+B : C = 10.000.000.000
Pendapatan dari usaha yang dibiayai : D =160.000.000
Nisbah bagi hasil nasabah : G = 0,35
Porsi bagi hasil untuk nasabah investor : H = 56.000.000
H = (D x G)
__________________________________________________________
*Data diasumsikan *Hasil Perhitungan
Dengan demikian bagi hasil yang diterima oleh nasabah/investor tersebut
pada bulan yang bersangkutan sebesar Rp 56.000.000 sebelum pajak.
Pertanyaan 2. :
Bila nasabah investor melakukan investasi dengan akad
mudharabah muqayyadah on balance sheet bagaimana cara penghitungan bagi hasilnya?
Jawab 2. :
Satu nasabah investor dapat menyalurkan dananya ke sekelompok
pelaksana usaha dalam beberapa sektor terbatas, misalnya pertanian,
manufaktur, dan jasa. Nasabah investor lainnya mungkin mensyaratkan
dananya hanya boleh dipakai untuk pembiayaan di sektor-sektor
pertambangan, properti, dan pertanian. Selain berdasarkan sektor,
nasabah investor dapat saja mensyaratkan berdasarkan jenis akad yang
digunakan, misalnya hanya boleh digunakan berdasarkan akad penjualan
cicilan saja, atau penyewaan cicilan saja, atau kerjasama usaha saja.
Misalnya seorang nasabah investor ingin berinvestasi di sektor
perdagangan sebesar Rp 100 juta. Total dana mudharabah yang ingin
diinvestasikan di sektor perdagangan sebesar Rp 90 milyar. Namun tidak
seluruh dana ini dapat digunakan oleh bank, karena bank harus
menyisihkan 5% dari dana tersebut sebagai simpanan wajib di Bank
Indonesia (GWM = giro wajib minimum). Katakanlah bank juga ikut
melakukan investasi di sektor perdagangan sebesar Rp 14,5 milyar,
sehingga jumlah dana nasabah investor dan dana bank untuk sektor
perdagang¬an sebesar Rp 100 milyar. Katakanlah, disepakati nisbah bagi
hasil antara bank dan nasabah investor 50 : 50. Pada akhir bu¬lan,
sektor perdagangan yang dibiayai menghasilkan pendapatan sebesar Rp 1,6
milyar. Bagi hasil dihitung sebagai berikut:
___________________________________________________________
Jumlah seluruh dana nasabah investor : A = 900.000.000.000
Jumlah dana nasabah investor yang dapat
disalurkan untuk pembiayaan = A x (1-GWM) : B = 85.500.000.000
Dana bank dalam pembiayaan proyek : C = 14.500.000.000
Pembiayaan yang diperlukan : D = 100.000.000.000
Pendapatan dari penyaluran pembiayaan : E = 1.600.000.000
Pendapatan dari setiap Rp 1.000 dana nasabah/investor : F = 15,20
F = (B/D) x E(1/A) x 1000
__________________________________________________________
*Data diasumsikan *Hasil Perhitungan
Perhitungan di atas digunakan untuk menunjukkan pada bulan yang
bersangkutan berapa rupiah yang dihasilkan dari tiap Rp 1000 dana
nasabah/investor yang digunakan untuk pembiayaan. Angka ini (pada tabel
tersebut sebesar Rp 15,20) kemudian digunakan untuk perhitungan
selanjutnya. Pada bulan tersebut bagi hasil yang diterima sebesar:
___________________________________________________________
Pendapatan dari setiap Rp 1.000 dana nasabah/investor : F = 15,20
Saldo rata-rata harian : G = 100.000.000
Nisbah nasabah :H =50,00
Porsi bagi hasil untuk nasabah :I = 988,000
I = Fx(65/1000)x(G/1000)
__________________________________________________________
*Data diasumsikan *Hasil Perhitungan
Dengan demikian bagi hasil yang diterima oleh nasabah/investor tersebut
pada bulan yang bersangkutan sebesar Rp 760.000 sebelum pajak.
Pertanyaan 3. :
Bila nasabah investor melakukan investasi dengan akad
mudharabah muqayyadah on balance sheet bagaimana cara penghitungan bagi hasilnya?
Jawab 3. :
Seluruh nasabah investor kepada bank tanpa ada pembatasan tertentu
pada pelaksana usaha yang dibiayai maupun akad yang digunakan. Nasabah
investor memberikan kebebasan secara mutlak kepada bank syariah untuk
mengatur seluruh aliran dana, termasuk memutuskan jenis akad dan
pelaksana usaha di seluruh sektor.
Misalnya seorang nasabah investor ingin melakukan investasi dengan cara
ini sebesar Rp 100 juta, sedangkan total dana nasabah investor yang
ingin investasi dengan cara ini sebesar Rp 900 milyar. Namun tidak
seluruh dana ini dapat digunakan oleh bank, karena bank harus
menyisihkan 5% dari dana terse¬but sebagai simpanan wajib di Bank
Indonesia (GWM = giro wajib minimum). Katakanlah bank juga ikut
melakukan investasi di sektor perdagangan sebesar Rp 145 milyar,
sehingga jumlah dana nasabah investor dan dana bank untuk investasi
sebesar Rp 1000 milyar. Katakanlah, disepakati nisbah bagi hasil antara
bank dan nasabah investor 35 : 65. Pada akhir bu-lan, investasi yang
dibiayai menghasilkan pendapatan sebesar Rp 16 milyar. Bagi hasil
dihitung sebagai berikut:
___________________________________________________________
Jumlah seluruh dana nasabah investor : A = 900.000.000.000
Jumlah dana nasabah investor yang dapat
disalurkan untuk pembiayaan = A x (1-GWM) : B = 855.000.000.000
Dana bank : C = 145.000.000.000
Pembiayaan yang disalurkan = B + C : D = 1.000.000.000.000
Pendapatan dari penyaluran pembiayaan : E = 16.000.000.000
Pendapatan dari setiap Rp 1.000 dana nasabah/investor: F = 15,20
F = (BD)xE(1/A)x1000
_________________________________________________________
*Data diasumsikan *Hasil Perhitungan
Perhitungan di atas digunakan untuk menunjukkan pada bulan yang
bersangkutan berapa rupiah yang dihasilkan dari tiap Rp.1000 dana
nasabah/investor yang digunakan untuk pembiayaan. Angka ini (pada tabel
tersebut sebesar Rp 15,20) kemudian digunakan untuk perhitungan
selanjutnya. Pada bulan tersebut bagi hasil yang diterima sebesar:
___________________________________________________________
Pendapatan dari setiap Rp 1.000 dana nasabah/investor: F = 15,20
Saldo rata-rata harian : G = 100.000.000
Nisbah nasabah : H = 65,00
Porsi bagi hasil untuk nasabah : I = 988,000
I = Fx (50/1000)x(G/1000)
___________________________________________________________
*Data diasumsikan *Hasil Perhitungan
Dengan demikian bagi hasil yang diterima oleh nasabah/Investor tersebut
pada bulan yang bersangkutan sebesar Rp 988.000 sebelum pajak.
5.2. Dari Sudut Pandang Bank
5.2.1. Perhitungan dengan Saldo Akhir Bulan
Bagi bank, keseluruhan dana yang dikelolanya akan dipilah-¬pilah
sesuai jenisnya. Katakanlah bank mengelompokkannya menjadi giro,
tabungan, deposito 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan. Maka bank
dapat menggunakan tabel ini sebagai alat bantu.
Kolom 1 adalah saldo akhir bulan masing-masing jenis dana. Namun tidak
seluruh dana ini dapat disalurkan oleh bank, karena bank harus menyimpan
minimum 5% dari dana ini di Bank Indonesia (GWM), dan biasanya bank
juga memperhitungkan adanya kelebihan cadangan yang disimpannya di atas
kewajibannya yang 5% tersebut, juga memperhitungkan adanya dana-dana
yang ditarik-setor oleh nasabah investor (floating). Ketiga kom¬ponen
ini menjadi faktor pengurang dalam perhitungan bobot di kolom 2. Kolom 3
adalah saldo yang benar-benar dapat diinves¬tasikan oleh bank. Kolom 4
adalah pendistribusian pendapatan yang diperoleh oleh bank ke dalam
masing-masing jenis dana.Kolom 5 adalah nisbah nasabah investor. Dengan
mengalikan kolom 4 dan kolom 5, maka didapat bagian pendapatan nasa¬bah
untuk masing-masing jenis dana. Untuk memudahkan bank menghitung bagi
hasil kepada tiap-tiap investor, maka bank menghitung pendapatan nasabah
pada kolom 6 tersebut dalam bentuk persentase yaitu pada kolom 7.
catatan :
* Bobot = 1 – (GWM + Excess Reserve + Floating)
** Dalam Bank konvensional, Saldo tertimbang dikenal sebagai loanable funds
5.2.2. Perhitungan dengan Saldo Rata-rata Harian
Bank dapat pula menghitung berdasarkan saldo rata-rata harian sebagai berikut.
Catatan :
“Bobot = 1 – GWM” Karena digunakan saldo rata-rata harian, maka nilai
ini telah menggambarkan saldo yang mengendap. Bobot dihitung hanya
dengan GWM sebagai faktor pengurang.
Kolom 1 adalah saldo rata-rata harian bulan bersangkutan
masing-masing jenis dana. Namun tidak seluruh dana ini dapat disalurkan
oleh bank, karena bank harus menyimpan minimum 5% dari dana ini di Bank
Indonesia (GWM). Karena penghitung¬annya telah menggunakan saldo
rata-rata harian, maka nilai ini telah merefleksikan saldo yang
mengendap di bank yang dapat digunakan oleh bank untuk melakukan
investasi. Jadi hanya komponen GWM saja yang menjadi faktor pengurang
dalam perhitungan bobot di kolom 2. Kolom 3 adalah saldo yang
benar-benar dapat diinvestasikan oleh bank. Kolom 4 adalah
pen¬distribusian pendapatan yang diperoleh oleh bank ke dalam
masing-masing jenis dana. Kolom 5 adalah nisbah nasabah in-vestor.
Dengan mengalikan kolom 4 dan kolom 5, maka didapat bagian pendapatan
nasabah untuk masing-masing jenis dana. Untuk memudahkan bank menghitung
bagi hasil kepada tiap-tiap investor, maka bank menghitung pendapatan
nasabah pa¬da kolom 6 tersebut dalam bentuk persentase yaitu pada kolom
7¥
DZIKIR, WIRID DAN DOA SESUDAH SHALAT
Dianjurkan sesudah selesai shalat supaya membaca dzikir-dzikir (wirid-wirid) sebab sangat besar faedahnya.
Di bawah ini adalah Dzikir-dzikir sesudah shalat :
Astaghfirullaahal ‘adhiimalii waliwalidaya wali ash-habil huquuqi
‘alayya walijamii’il mu’miniina walmu’minaati wal muslimiina wal
muslimaatil ahyaa-i minhum wal amwaati 3x
laa ilaaha illaahu wahdahu laa syariikalahu lahul mulku walahul hamdu yuhyi wayumiitu wahuwa ‘ala kulli syai-in qadiirun 3x
Allaahumma antas salaam waminkas salaamu wailaika ya’uudus salaamu fahayyinaa rabbanaa wata’aalaita yaadzal jalaali wal ikraami.
Membaca surat Al Fatihah
Membaca ayat kursi (1:255)
Shaidallaahu innahu laa ilaaha illa huwa wa-ulul’ilmi waa iman bil
qisthi laa ilaaha illa huwal ‘aziizul hakiimu innaddiina ‘indallaahil
islaamu.
Qulillahumma maalikal mulki tuktil mulkaman tasyaa-u watanzi’ul mulka
mimman tasyaau watuizzu man tasyaa-u watudzillu man tasyaa-u biyadikal
khairu innaka ‘ala kulli syai-in qadiirun
Tuulijul laila fin nahaari watuulijun nahaara fil laili watukhrijul
hayya minal mayyiti watukhrijul mayyita minal hayyi watar zuqu man
tasyaa-u bighairi hisaabin.
Subhanallaah 33x
Alhamdulillaahi 33x
Allaahu Akbar 33x
Allaahu Akbar kabiiran walhamdu lillaahi katsiiran wasubhaanallaahi bukratan wa ashiilan.
Laa ilaaha illallaahu wah dahu laa syarikalahu lahul mulku walahul hamdu yuhyi wamiitu wahuwa ‘alaa kulli syai-in qadiirun
Laa haula walaa quwwata illa billaaahil ‘aliyil ‘adhiimi
Dilanjutkan dengan doa :
Doa Setelah Sholat Fardhu 1
Allaahumma laa maani’a lima a’thaita walaa mu’thi limaa mana’ta walaa
haadiya limaa adl-lalta walaa mubaddila limaa hakamta walaa rad dalimaa
qadlaita walaa yanfa’u dzaljaddi minkal jaddu laa ilaaha illa anta
Allahumma shali ‘alaa sayyidina muhammadin ‘abdika warusuulikan nabiyyil ummiyi wa’alaa aalihi wa ashabihi wasallim.
Wahasbunallaahu wani’mal wakiilu walaa haula walaa quwwata illa billaahil ‘aliyyil ‘adhiimi.
Astaghfirullaahal ‘adhiima.
Doa Setelah Sholat Fardhu 2
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Alhamdulillaahi Rabbil ‘alaamin.
Hamdan yuwaafiini’amahu wa yukaafi maziidahu.
Yaa rabbanaa lakal hamdu kamaa yan baghiii lijalaali wajhika wa ‘azhiimi sulthaanika.
Allaahumma shali’alaa syyidinaa Muhammadin wa’alaa aali sayyidinaa Muhammad.
Allaahumma rabbanaa taqabbal minna shalaatanaa washiyaamanaa wa
rukuu’anaa wa sujuudanaa wa qu’uudanaa wa tadharru’anaa wa takhasy-syu
anaa wa ta’abuudanaa wa tammim taqshiiranaa ya Allaahu ya Rabbal
‘alaamiina.
Rabbana zhalamnaa anfusa-naa wa in lam taghfir lanaa wa tarhamnaa lana kuunannaa minal khashiriina.
Rabbanaa wa laa tahmil ‘alaina israh kamaa hamaltahu ‘alalladziina min qablinaa.
Rabbanaa laa tuzigh quluubanaa ba’da idz hadaitanaa wa hablanaa min ladunka rahmatan innaka antal wahhaabu.
Rabbanaghfir lanaa wali waalidiinaa wa lijaii’il muslimiina wal
muslimaati wal mu’miniina wal mu’minaati al ahyaa-i minhum wal amwaati
innaka ‘alaa kulli syai-in qadiirun.
Rabbanaa aatinaa fiddun-yaa hasanatan wa fil aakhirati hasanatan wa qinaa ‘adzaabannaari.
Allahummaghfir lanaa dzunuubanaa wa kaffir ‘anna sayyi-aatinaa wa tawaffanaa ma-’al abraari.
Subhana Rabbika Rabbil ‘izzati ‘amma yashifuuna wa salaamun ‘alal mursaliina walhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin.
Sumber : http://saripedia.wordpress.com/2010/11/11/buku-saku-perbankan-syariah-44/